UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a.
bahwa
negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur
bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi
harkat dan martabat setiap warga negara;
b.
bahwa
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di
tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat
Indonesia;
c.
bahwa
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini
belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
d.
bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf
c perlu membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, Pasal
28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Pornografi
adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak,
animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui
berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat
kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam
masyarakat.
2.
Jasa
pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang
perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televise
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta
surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3.
Setiap
orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun
yang tidak berbadan hukum.
4.
Anak
adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5.
Pemerintah
adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang
memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6.
Pemerintah
Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai
unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2
Pengaturan pornografi
berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan,
kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga
negara.
Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a.
mewujudkan
dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian
luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati
harkat dan martabat kemanusiaan;
b.
menghormati,
melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual
keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk;
c.
memberikan
pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d.
memberikan
kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama
bagi anak dan perempuan; dan
e.
mencegah
berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.
BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan,
menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk
persenggamaan yang menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan
yang mengesankan ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a.
menyajikan
secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan
yang mengesankan ketelanjangan;
b.
menyajikan
secara eksplisit alat kelamin;
c.
mengeksploitasi
atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d.
menawarkan
atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.
Pasal 5
Setiap orang dilarang
meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1).
Pasal 6
Setiap orang dilarang
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi
kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.
Pasal 7
Setiap orang dilarang
mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.
Pasal 8
Setiap orang dilarang
dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang
mengandung muatan pornografi.
Pasal 9
Setiap orang dilarang
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau
orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan
ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.
Pasal 11
Setiap orang dilarang
melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang
mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau
memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (1) wajib mendasarkan pada
peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat
dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi
untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan
ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban
melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap
informasi pornografi.
Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga
sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban
memberikan pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan
mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan, pendampingan,
serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah
Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a.
melakukan
pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa
pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b.
melakukan
pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c.
melakukan
kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari
luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
d.
penggunaan
pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a.
melakukan
pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa
pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya;
b.
melakukan
pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c.
melakukan
kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d.
mengembangkan
sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan
serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a.
melaporkan
pelanggaran Undang-Undang ini;
b.
melakukan
gugatan perwakilan ke pengadilan;
c.
melakukan
sosialisasi peraturan perundangundangan yang mengatur pornografi; dan
d.
melakukan
pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan
Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti
sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk
juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas
pada:
a. barang yang memuat tulisan
atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun
bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam
jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.
Pasal 25
(1)
Untuk
kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan
membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet,
media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya.
(2)
Untuk
kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau membuka data elektronik
yang diminta penyidik.
(3)
Pemilik
data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan
dan/atau membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berhak
menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik
dari penyidik.
Pasal 26
Penyidik membuat berita
acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan
berita acara tersebut kepada pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1)
Data
elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa
dilampirkan dalam berkas perkara.
(2)
Data
elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat
dimusnahkan atau dihapus.
(3)
Penyidik,
penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah
jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau
dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan
terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2)
Pemusnahan
produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut
umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a.
nama
media cetak dan/atau media elektronik yang
b.
menyebarluaskan
pornografi;
c.
nama,
jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
d.
hari,
tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
e.
keterangan
mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.
BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang
memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau
menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua
belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang
menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang
meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang
memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara
paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00
(dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai
atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus
juta rupiah).
Pasal 34
Setiap orang yang dengan
sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung
muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana
denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang
mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan
ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan
pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang
melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan
Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38
Setiap orang yang mengajak,
membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak
dalam menggunakan produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1)
Dalam
hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi,
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2)
Tindak
pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan
hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri
maupun bersama-sama.
(3)
Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut
diwakili oleh pengurus.
(4)
Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5)
Hakim
dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap
sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya
pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6)
Dalam
hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan
penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat
tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7)
Dalam
hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap korporasi
dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang
ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat
(7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil
tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan
hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan
efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas
antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini
berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus
memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini
mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur atau berkaitan
dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November
2008
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG
YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.
ANDI
MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
I. UMUM
Negara
Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung
tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa,
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebinekaan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan
martabat setiap warga negara.
Globalisasi
dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi,
telah memberikan andil terhadap meningkatnya
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh
buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam
kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi
di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan.
Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah mengisyaratkan melalui
Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai
ancaman yang serius terhadap persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya
kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya
disebabkan oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan
media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong
penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan
pornografi yang terdapat dalam peraturan perundangundangan yang ada, seperti
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999
tentang Pers, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang
Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan
hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru
yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan
pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan
martabat kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan
perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang ini adalah:
1.
menjunjung
tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2.
memberikan
ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus
dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang
melanggarnya; dan
3.
melindungi
setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh
buruk dan korban pornografi.
Pengaturan
pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak
dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang
ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat
pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan
pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu,
pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh
korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan.
Untuk
memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-Undang ini
mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga
pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan
pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi
setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan
pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi diatur secara komprehensif
dalam rangka mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat Indonesia
yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai
Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga
negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya
diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk
untuk
dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan
"persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau
aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks,
lesbian, dan homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan
”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan
kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan
"mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang
menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara
eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah
segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa
yang berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan
“mengunduh” (down load) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan
komunikasi lainnya.
Pasal 6
Larangan "memiliki
atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan
sendiri.
Yang dimaksud dengan
"yang diberi kewenangan oleh perundangundangan" misalnya lembaga yang
diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga
penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan
lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium,
dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam
ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan
untuk tujuan lembaga yang dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan
ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau
ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan
"pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau
onani.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau
menggandakan
Yang dimaksud dengan
"penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor,
menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan
"penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam ketentuan ini misalnya
majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga
pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan
"di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak
dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau
menggambarkan pornografi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan
ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan
terhadap anak yang ditentukan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan
"pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang
pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan
"pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang
pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan
"peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak
melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum
lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan
“penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928
Tidak ada komentar:
Posting Komentar