Pembatasan
Perkara di Mahkamah Agung
Oleh Wasis Priyanto
Mahkamah Agung sebagai puncak dari 4 tingkat
peradilan dibawahnya memeriksa dan mengadili perkara tingkat kasasi dan
penijauan kembali. Karena merupakan puncak dari 4 perdalian dibawahnya, maka
wajar apabila semua perkara bermuara di Mahkamah Agung. Sehingga sering terjadi
penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Seiring peningkatan kinerja Hakim Agung penumpukan
perkara di Mahkamah Agung mulai tahun ke tahun mulai berkurang.
Selain peningkatan kinerja dalam penyelesaian
perkara tentunya harus juga ada pembatasan perkara-perkara yang masuk ke
Mahkamah Agung. Karena selama ini tidak
semua proses kasasi atau peninjaun kembali ke Mahkamah Agung adalah upaya hukum
sesungguhnya dari pencari keadilan, namun kadang merupakan sebuah upaya dari
para pihak saja untuk menunda-nunda pelaksanaan eksekusi.
Perkara-perkara
yang tidak boleh di ajukan kasasi atau peninjauan kembali
Penulis membagi ada 2 pembagian larangan atas larangan kasasi dan
peninjauan kembali tersebut, yaitu larangan yang bersifat materiil dan larangan
yang bersifat formil. Larangan bersifat materiil itu berarti sudah dilarang
sejak sebelumnya sedangkan larangan yang bersifat formil pada prinsipnya
dimungkinkan mengajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali namun si
pemohon terlambat atau tidak memehuhi semua persyaratan atas permohonan upaya
hukum yang telah diajukan.
Larangan yang bersifat materii untuk
mengajukan Kasasi itu sebagaimana tertuang dalam pasal 45A UU Mahkamah Agung
yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan
terakhir dengan UU no 3 tahun 2009. Perkara yang tidak boleh
dilakukan upaya Kasasi adalah sebagai berikut :
1. Putusan atas perkara Pra Peradilan;
2. Putusan atas perkara yang diancam dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
3. Putusan atas perkara tata usaha Negara yang
obyek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya
berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Sedangkan larangan yang bersifat formil ini
karena tidak memenuhi syarat-syarat yang diajukan dalam mengajukan upaya hukum.
Dalam hal ini larangan yang bersifat formil untuk mengajukan upaya hukum kasasi
yaitu terhadap perkara-perkara perdata umum, Perkara dari pengadilan agama dan Perkara
sengketa tata usaha Negara yang mana sebagai berikut :
1. Permohonan kasasi yang diajukan telah
melewati tenggang waktu
Jangka waktu permohonan mengenai kasasi
adalah 14 (empat hari) sesudah penetapan atau putusan diberitahukan kepada
Pemohon. Ketentuan mengenai tenggang waktu mengajukan upaya hukum kasasi
sebagai mana ketentuan pasal 46 ayat (1) UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun
1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3
tahun 2009
2. Penyampaian Memori Kasasi juga telah
melampaui tenggang waktu.
Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib
menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu
14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku
daftar.
Ketentuan mengenai tenggang waktu penyerahan
Memori kasasi sebagai mana ketentuan pasal 47 ayat (1) UU Mahkamah Agung yaitu
UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir
dengan UU no 3 tahun 2009
Dalam Perkara
Pidana apakah itu Pidana Umum, Pidana Khusus atau Pidana Militer, bahwa usaha mengajukan kasasi harus sesuai dengan syarat
Formil yaitu berkaitan dengan tenggang waktu. Adapaun tenggang
waktunya yaitu sebagai berikut :
1. Melampaui tenggang waktu permohonan kasasi
sebagaimana ketentuan pasal 245 KUHAP
2. Melampaui tenggang waktu pengajuan permohonan
kasasi sebagimana ketemntuan 248 ayat (1) KUHAP.
Begitu juga dengan kasasi, Peninjauan Kembali
juga memiliki tenggang waktu dalam pengajuannya, Keterlambatan mengajukan
permohonan Peninjauan Kembali seharusnya menyebabkan perkara tersebut tidak perlu
dikirim dan diperiksa di Mahkamah Agung.
Lamanya tenggang waktu dalam pengajuan
Peninjauan kembali tergantung kepada alasan untuk mengajukan peninjauan Kembali
tersebut.
Adapun beberapa alasan peninjauan kembali
sebagai mana ketentuan pasal 67 UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985
yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun
2009 yaitu sebagai berikut :
a.
apabila putusan didasarkan pada
suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah
perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim
pidana dinyatakan palsu;
b.
apabila setelah perkara diputus,
ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara
diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.
apabila telah dikabulkan suatu hal
yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d.
apabila mengenai sesuatu bagian dari
tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.
apabila antara pihak-pihak yang sama
mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama
atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang
lain;
f.
apabila dalam suatu putusan terdapat
suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Sebagaimana
ketentuan pasal 69 UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004
dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009 menentukan bahwa Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan
kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67
adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a.
yang
disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak
putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan
kepada para pihak yang berperkara;
b.
yang
disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal
ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang
berwenang;
c.
yang
disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap
dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
semua permohonan kasasi
dan peninjauan kembali yang tidak memenuhi syarat materiil ataupun formil
seharusnya Pengadilan Tingkat Pertama tidak mengirim ke Mahkamah Agung. Ketua
Pengadilan Tingkat Pertama cukup mengeluarkan Penetapan
yang pada pokoknya permohonan kasasi atau peninjauan Kembali tersebut tidak
dapat diterima. Penetapan
yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan tingkat pertama tersebut tidak dapat
dimintakan upaya hukum baik itu perlawanan, kasasi ataupun peninjauan kembali.
Apabila
Berkas permohonan kasasi ataupun peninjauan kembali yang tidak memenuhi syarat
materiil ataupun formil tersebut dikirim ke Mahkamah Agung, maka Panitera
Mahkamah Agung akan mengembalikan berkas tersebut tanpa diregiter dan
pengembaliannya sebagaimana surat biasa.
Demikianlah
beberapa pembatasan perkara dari Mahkamah Agung yang ditujukan untuk mengurangi
penumpukan perkara serta membatasi tindakan pihak yang hanya menjadikan upaya
hukum sebagai upaya mengulur waktu eksekusi.
Daftar Pustaka
-
UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah
diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009
-
UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP
-
SEMA no 08 tahun 2011