YURISPRUDENSI MASALAH PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK


YURISPRUDENSI MASALAH PENJATUHAN PIDANA TERHADAP ANAK
Wasis Priyanto

Ada beberapa kaidah hukum yang bisa diambil dari Putusan Mahkamah Agung RI no 586 K/Pid.sus/2009 yaitu berkaitan mengenai penjatuhan pidana terhadak terdakwa anak. Adapun kaidah hukum yang bisa diambil sebagai berikut “
1.    Dalam perkara anak-anak (anak sebagai terdakwa) wajib ada hasil Penelitian kemasyarakatan yang dibuat oleh Petugas Balai Pemasyarakatan.
Hakim wajib untuk mempertimbangkan hasil laporan Litmas tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam menjatuhkan putusan, sekalipun hakim tidak terikat  pada rekomendasi yang terdapat pada rekomendasi yang terdapat dalam Linmas tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 59 Ayat (2)  undang-undang nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan Anak, ketiadaan laporan hasil penelitian Kemasyarakatan yang dibuat petugas Bapas dapat menyebabkan putusan batal demi hukum.
2.    Bahwa tindakan Terdakwa yang sukarela mengembalikan barang-barang yang diambilnya kepada pemilik, sekalipun perbuatan tersebut tidak dapat dipakai sebagai dasar atau alasan pembenar, namun hala tersebut patut untuk diperhatikan dan dipertimbangkan bagi hakim dalam menentukan pidana yang hendak dijatuhkan   
3.    Bahwa dengan telah dikembalikannya barang-barang yang diambil kepada pemilik, maka sesungguhnya keguncangan yang terjadi dalam masyarakat akibat perbuatan terdakwa telah kembali normal dan pulih sehingga menjatuhkan hukuman yang tidak sepadan justru dirasakan akan menjadi tidak adil
4.    Sudah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat Indonesia dan jika dihubungkan dengan perkembangan dunia modern berkenaan dengan ajaran tujuan pemidanaan telah sesuai dengan wacana yang kini berkembang yang dikenal sebagai Restorative justice yang menghendaki adanya pemulihan keseimbangan antara pelaku dan korban
5.    Hal utama yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan dalam menghadapi dan menyelesaikan perkara anak adalah perhatian yang sungguh-sungguh bahwa anak-anak secara psikologis dan kejiwaan berbeda dengan orang dewasa sehingga pendekatan dan penyelesaiannya pun haus dibedakan dengan orang dewasa.
Di dalam penjatuhan hukuman, menempatkan seorang anak kedalam penjara sedapat mungkin diusahakan sebagai langkah terakhir (ultimum remidium), karena menempatkan anak kedalam penjara tanpa dikehendaki justru akan mengakibatkan kepribadian dan mental anak akan menjadi rusak, hal mana Nampak dari pandangan para ahli kriminologi yang memandang penjara tanpa dikehendaki telah berubah dan menjelma menjadi “ Universiteit van de criminellen”

Daftar Pustaka:
Majalan varia Peradilan tahun XXVI, Edisi Juli 2011

Pembatasan Perkara di Mahkamah Agung


Pembatasan Perkara di Mahkamah Agung
Oleh Wasis Priyanto

Mahkamah Agung sebagai puncak dari 4 tingkat peradilan dibawahnya memeriksa dan mengadili perkara tingkat kasasi dan penijauan kembali. Karena merupakan puncak dari 4 perdalian dibawahnya, maka wajar apabila semua perkara bermuara di Mahkamah Agung. Sehingga sering terjadi penumpukan perkara di Mahkamah Agung. Seiring peningkatan kinerja Hakim Agung penumpukan perkara di Mahkamah Agung mulai tahun ke tahun mulai berkurang. 
Selain peningkatan kinerja dalam penyelesaian perkara tentunya harus juga ada pembatasan perkara-perkara yang masuk ke Mahkamah Agung.  Karena selama ini tidak semua proses kasasi atau peninjaun kembali ke Mahkamah Agung adalah upaya hukum sesungguhnya dari pencari keadilan, namun kadang merupakan sebuah upaya dari para pihak saja untuk menunda-nunda pelaksanaan eksekusi.
Perkara-perkara yang tidak boleh di ajukan kasasi atau peninjauan kembali
Penulis membagi ada 2  pembagian larangan atas larangan kasasi dan peninjauan kembali tersebut, yaitu larangan yang bersifat materiil dan larangan yang bersifat formil. Larangan bersifat materiil itu berarti sudah dilarang sejak sebelumnya sedangkan larangan yang bersifat formil pada prinsipnya dimungkinkan mengajukan upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali namun si pemohon terlambat atau tidak memehuhi semua persyaratan atas permohonan upaya hukum yang telah diajukan.
Larangan yang bersifat materii untuk mengajukan Kasasi itu sebagaimana tertuang dalam pasal 45A UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009. Perkara yang tidak boleh dilakukan upaya Kasasi adalah sebagai berikut :
1.      Putusan atas perkara Pra Peradilan;
2.      Putusan atas perkara yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda;
3.      Putusan atas perkara tata usaha Negara yang obyek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan.
Sedangkan larangan yang bersifat formil ini karena tidak memenuhi syarat-syarat yang diajukan dalam mengajukan upaya hukum. Dalam hal ini larangan yang bersifat formil untuk mengajukan upaya hukum kasasi yaitu terhadap perkara-perkara perdata umum, Perkara dari pengadilan agama dan Perkara sengketa tata usaha Negara yang mana sebagai berikut :
1.      Permohonan kasasi yang diajukan telah melewati tenggang waktu
Jangka waktu permohonan mengenai kasasi adalah 14 (empat hari) sesudah penetapan atau putusan diberitahukan kepada Pemohon. Ketentuan mengenai tenggang waktu mengajukan upaya hukum kasasi sebagai mana ketentuan pasal 46 ayat (1) UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009
2.      Penyampaian Memori Kasasi juga telah melampaui tenggang waktu.
Dalam pengajuan permohonan kasasi pemohon wajib menyampaikan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar.
Ketentuan mengenai tenggang waktu penyerahan Memori kasasi sebagai mana ketentuan pasal 47 ayat (1) UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009
Dalam Perkara Pidana apakah itu Pidana Umum, Pidana Khusus atau Pidana Militer, bahwa usaha mengajukan kasasi harus sesuai dengan syarat Formil yaitu berkaitan dengan tenggang waktu. Adapaun tenggang waktunya yaitu sebagai berikut :  
1.      Melampaui tenggang waktu permohonan kasasi sebagaimana ketentuan pasal 245 KUHAP
2.      Melampaui tenggang waktu pengajuan permohonan kasasi sebagimana ketemntuan 248 ayat (1) KUHAP.
Begitu juga dengan kasasi, Peninjauan Kembali juga memiliki tenggang waktu dalam pengajuannya, Keterlambatan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali seharusnya menyebabkan perkara tersebut tidak perlu dikirim dan diperiksa di Mahkamah Agung.
Lamanya tenggang waktu dalam pengajuan Peninjauan kembali tergantung kepada alasan untuk mengajukan peninjauan Kembali tersebut.
Adapun beberapa alasan peninjauan kembali sebagai mana ketentuan pasal 67 UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009 yaitu sebagai berikut :
a.     apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.     apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.     apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut;
d.     apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.     apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain;
f.        apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Sebagaimana ketentuan pasal 69 UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009 menentukan bahwa Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a.     yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
b.     yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c.     yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
semua permohonan kasasi dan peninjauan kembali yang tidak memenuhi syarat materiil ataupun formil seharusnya Pengadilan Tingkat Pertama tidak mengirim ke Mahkamah Agung. Ketua Pengadilan Tingkat Pertama cukup mengeluarkan Penetapan yang pada pokoknya permohonan kasasi atau peninjauan Kembali tersebut tidak dapat diterima.  Penetapan yang dikeluarkan oleh ketua pengadilan tingkat pertama tersebut tidak dapat dimintakan upaya hukum baik itu perlawanan, kasasi ataupun peninjauan kembali.
Apabila Berkas permohonan kasasi ataupun peninjauan kembali yang tidak memenuhi syarat materiil ataupun formil tersebut dikirim ke Mahkamah Agung, maka Panitera Mahkamah Agung akan mengembalikan berkas tersebut tanpa diregiter dan pengembaliannya sebagaimana surat biasa.
 Demikianlah beberapa pembatasan perkara dari Mahkamah Agung yang ditujukan untuk mengurangi penumpukan perkara serta membatasi tindakan pihak yang hanya menjadikan upaya hukum sebagai upaya mengulur waktu eksekusi.

Daftar Pustaka
-          UU Mahkamah Agung yaitu UU no 14 tahun 1985 yang telah diubah dengan UU no 5 tahun 2004 dan terakhir dengan UU no 3 tahun 2009
-          UU no 8 tahun 1981 tentang KUHAP
-          SEMA no 08 tahun 2011

CARA MEMBUAT SURAT KUASA

SURAT KUASA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat tugas Di Pengadilan Negeri Ungaran KabSemarang Penggunaan surat kuasa saat in...