GUGATAN ORANG YANG TIDAK BISA BACA TULIS
Pemerintah sudah menerapkan program wajib belajar 9 tahun namun tidak sedikit dari rakyat Indonesia yang masih buta huruf (tidak bisa membaca dan menulis). Diantara orang yang tidak bisa membaca menulis tersebut juga pasti ada orang yang mempunyai permasalah hukum dengan pihak lain. Kalau masalah pidana mungkin yang bersangkutan bisa melaporkan kepada pihak kepolisian, terus bagaimana dengan masalah keperdataan, bagaimana dia seorang yang buta huruf (tidak bisa menulis dan membaca) akan mengajukan gugatan.
Apakah orang yang buta huruf (tidak bisa menulis dan membaca) tersebut meminta tolong kepada orang lain (bisa Advokat/Penasehat hukum) untuk mengetikan surat gugatan, dan setelah gugatan selesai yang bersangkutan membubuhkan cap jempol diatasnya. Dan surat gugatan yang telah di bubuhi cap jempol tersebut didaftarkan kepengadilan?
Pembubuhan Cap jempol adalah suatu kebiasaaan seseorang sebagai pengganti tanda tangan karena orang yang bersangkutan tidak bisa baca tulis. Namun berkaitan tentang gugatan perdata dengan cap jempol, tidak bisa dibenarkan, walaupun yang bersangkutan tidak bisa baca tulis. Lihat putusan Mahkamah Agung RI nomor : 1077K/Sip/1972 tertanggal07 februari 1973 yang dapat diambil suatu kaidah hukum sebagai berikut : " Gugatan yang diajukan secara tertulis dengan dibubuhi cap jempl harus dinyatakan tidak dapat diterima".
Cara Pengajuan Gugatan.
Pengajuan gugatan oleh orang yang tidak bisa membaca dan menulis diatur dalam ketentuan pasal 120 HIR dan 143 Rbg. Dalam pasal tersebut di kemukankan sebagai berikut :
"Jika penggugat tidak dapat menulis maka ia dapat mengajukan gugatannya secara lisan kepada Ketua pengadilan Negeri yang mencatatnya atau menyuruh mencatatnya."
Pencatatan gugatan lisan itu dituangkan dalm sebuah berita acara. Berita acara Gugatan lisan ini tidak harus di buat oleh ketua Pengadilan, karena ketua pengadilan dapat menunjuk salah satu Hakim untuk membuat berita acara tersebut.
Ketua pengadilan atau Hakim dapat menyarankan atau member nasehat terhadap gugatan lisan tersebut. Hal ini sebagaimana ketentuan pasal 119 HIR atau 143 Rbg yang menyatakan :
"Ketua pengadilan berwenang pada waktu diajukan gugatan, untuk memberi nasihat dan bantuan kepada penggugat atau kuasanya"
Dalam Gugatan lisan, Ketua Pengadilan Negeri sebaiknya dengan menggunakan pasl 119 HIR membuatkan gugatan yang dalam riilnya dikehendaki oleh Penggugat sehingga sesuai dengan asas hukum adat, sengketa dapat diselesaikan sekaligus: (vide putusan Mahkamah Agung RI Nomor : 195K/SIP/1955 tertanggal 28 November 1956).
Berita acara gugatan lisan itu dalam bagian Akhir di tutup dan dan ditanda tangani oleh Ketua pengadilan atau Hakim yang menerima gugatan lisan tersebut. Berita acara Dalam Gugatan lisan, Penggugat bisa mencantunkan atau memberikan Kuasa kepada pihak lain. Namun waktu penandatangan berita acara tersebut harus di beri metarai, namun jika tidak menggunakan kuasa tidak perlu di meterai. Gugatan lisan tersebut merupakan akta outentik karena dibuat oleh pejabat yang berwenang.
orang yang menerima kuasa tidak berhak mengajukan Gugatan Lisan, Hal tersebut sebagaimana ketentuan pasal 144 (1) Rbg dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 369K/Sip/1973 tertanggal 04 Desember 1975.
Dalam pasal yang menyata pasal 144 (1) Rbg disebutkan :
Jika penggugat tidak dapat menulis maka ia dapat mengajukan gugatannya secara lisan kepada Ketua pengadilan Negeri yang mencatatnya atau menyuruh mencatatnya.kewenangan untuk mengajukan gugatan lisan ini tidak berlaku bagi seorang kuasa"
Itulah cara pengajuan Gugatan oleh orang yang tidak bisa baca tulis, yaitu gugatan secara lisan, hal tersebut juga berlaku dengan Tergugat yang tidak bisa baca tulis, Tergugat yang tidak bisa baca tulis juga mengajukan jawaban secara tertulis, namun cukup di tulis menjadi satu kesatuan dalam beriata Acara persidangan.
Pak Ujang terima kasih masukannya... ditunggu terus kritik yang membangunnya...
BalasHapus