Inilah Merek Susu Formula Aman

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) secara rutin menguji dan meneliti sampel beberapa produk susu formula yang beredar di pasaran.

Pada 2009, misalnya, BPOM mengambil sebanyak 11 sampel susu formula dan pada 2010 mengambil sebanyak 99 sampel. Tahun 2011, hingga Februari ini, BPOM mengambil sebanyak 18 sampel.

Menurut Kepala BPOM Kustantinah, hasil pengujian terhadap sampel sejumlah produk tersebut menunjukkan tidak ditemukan adanya cemaran Enterobacter sakazakii.

PT. Mayora Indah Tbk

PT. Mayora Indah Tbk

membutuhkan adm sales promotion.

Wanita max 27 thn min D3 pengalaman kerja administrasi. Penempatan DKI.

Email CV ke arief.nugroho@mayora.co.id.

Dan

area sales promotion head(ASPH)area Palembang,

max 33,min D3 pengalam kerja marketing,

Email CV ke huda_bjm@yahoo.com..

Ditunggu cepat…

SKB 3 Menteri Tentang Ahmadiyah

Keputusan Bersama Menag, Mendagri, Jaksa Agung Hari Senin, Tanggal 9 Juni 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau anggota pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat (nomor: 3 Tahun 2008, nomor: KEP-033/A/JA/6/2008, nomor: 199 Tahun 2008)
Kesatu:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada warga masyarakat untuk tidak menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan keagamaan dari agama itu yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran itu.
Kedua:
Memberi peringatan dan memerintahkan kepada penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI sepanjang mengaku beragama Islam untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi dengan segala ajarannya setelah Nabi Muhammad SAW.
Ketiga:
Penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum kedua dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk organisasi dan badan hukumnya.
Keempat:
Memberi peringatan dan memerintahkan warga masyarakat untuk menjaga dan memelihara kerukunan umat beragama serta ketenteraman dan ketertiban kehidupan bermasyarakat dengan tidak melakukan perbuatan dan/atau tindakan melawan hukum terhadap penganut, anggota, dan/atau anggota pengurus JAI.
Kelima:
Warga masyarakat yang tidak mengindahkan peringatan dan perintah sebagaimana dimaksud pada diktum kesatu dan diktum keempat dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Keenam:
Memerintahkan aparat pemerintah dan pemerintah daerah melakukan langkah-langkah pembinaan dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan Keputusan Bersama ini.
Keputusan Bersama ini berlaku sejak tanggal ditetapkan di Jakarta pada 9 Juni 2008. Menteri Agama, Jaksa Agung, Menteri Dalam Negeri

PENGESAHAN TERHADAP PERGANTIAN KELAMIN

Oleh : wasis Priyanto, SH, MH

Ditulis saat bertugas di PN Muara Bulian Kab. BATANG HARI

Februari 2011


 

    Tuhan telah menciptakan manusia dalam dua bentuk yaitu pria dan wanita, dengan Adam dan Hawa sebagai cikal bakalnya. Dengan kebesaran Tuhan Pun, fakta berbicara bahwa ternyata ada sekelompok orang yang sangat kecil jumlahnya yang disebut Waria (wanita Pria). Berapa prosentase jumlahnya, sampai sekarang belum bias dipastikan, namun keberadaan mereka ada di tengah masyarakat kita. Walaupun ada dalam masyarakat bagaimana keadaaan mereka, apakah semua hak-hak asasi mereka semua sudah mendapatkan payung hukum, arau memang mereka dicari untuk suatu kepertingan atau tujuan sesaat.

keberadaan waria yang berkeliaran di jalanan untuk mengadu nasib khususnya di dunia perkotaan sudah bukan lagi rahasia, Ironisnya di media pertelevisian seperti kebredaan Waria justru ikut menyemarakkan dan mensosialisasikan perilaku kebancian tersebut di berbagai program acara talkshow, parodi maupun humor. Hal itu tentunya akan turut andil memberikan legitimasi dan figur yang dapat ditiru masyarakat untuk mempermainkan jenis kelamin atau bahkan perubahan orientasi dan kelainan seksual.

Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery). Dalam DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder)–III, penyimpangan ini disebut sebagai juga gender dysporia syndrome. Penyimpangan ini terbagi lagi menjadi beberapa subtipe meliputi transseksual, a-seksual, homoseksual, dan heteroseksual.

Khusus untuk tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder), antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun; adanya penampilan fisik interseks atau genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.

Pengantian kelamin mulai dikenal sejak berkembangnya dunia ilmu kedokteraan sebagaimana tersebut diatas. Dalam ilmu kedokteran dapat terjadi keadaan dimana dalam tubuh seseorang kromosom perempuannya lebih berkembang dalam tubuh yang berbentuk laki-laki hal tersebut ditandai dengan organ kelamin tidak berkembang maksimal baik dari segi ukuran maupun fungsi selain itu biasanya tanda-tanda kelaki-lakian yang lain seperti jakun biasanya tidak Nampak atau suara yang lebih tinggi yang disebabkan faktor hormonal yang tidak diproduksi tubuh dengan cukup akibat kromosom yang dominan adalah kromosom perempuan;

    Tidak serta merta semua orang bisa melakukan operasi pergantian kelamin. Menurut keterangan saksi/Ahli dr. DADI GARNADI, Seseorang untuk dapat dilakukan operasi perubahan kelamin sesuai standar IDI harus didahului oleh observasi oleh Tim dokter yang meliputi tes psikologi, tes hormonal, tes kepribadian, tes kesehatan yang dilakukan oleh ahli-ahli seperti Psikiater, Psikolog, Bedah, Penyakit Dalam, Genetikal, Obstetry dan Ginecology, Seorang dapat melakukan operasi perubahan kelamin maka dapat dipastikan bahwa orang tersebut telah melampau proses tersebut dan dikatakan layak melakukan perubahan kelamin ( lihat di Penetapan PN Batang nomor : 19/Pdt.P/2009/PN.Btg tanggal 22 Desember 2009.)

Sebagai salah satu contoh, kasus Alterina Hofan, Alter memang dilahirkan dengan jenis kelamin perempuan. Hal itu tercantum dalam akta kelahiran. Bahkan dalam kartu keluarga juga tercantum Alterina Hofan berkelamin perempuan. Namun Alterina mengatakan sejak kecil alat kelaminnya mengalami kelainan yang disebut sindrom klinefelter.

Sindrom klinefelter secara teoretis dikenal sebagai kondisi XXY. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan pria yang memiliki kromosom X tambahan di sebagian besar selnya. Pria lazimnya memiliki kromosom XY, namun pengidap klinefelter memiliki pola XXY. Lantaran ada tambahan unsur X itulah yang menyebabkankelamin Alter kurang jelas semenjak dilahirkan. Pada usia dua bulan benda yang semula diduga klitoris mulai membesar dan terus membesar hingga membentuk kelamin laki-laki. Kelainan lain yang dimiliki Alter adalah dirinya memiliki payudara.

Pada 2006 Alter melakukan operasi pengangkatan payudara di Kanada pada Setelah itu ia mengganti akta kelahiran, kartu keluarga, dan KTP dari yang tadinya jenis kelamin wanita menjadi pria.

Permohonan perubahan jenis kelamin diajukan ke pengadilan dan atas permohonan tersebut telah dikabulakan berdasarkan penetapan PN Jayapura bernomor 12/Pdt.P/2010/PN.JPR tertanggal 29 Maret 2010. Disini penulis tidak membahas mengenai kasus yang menimpa Alter yang lain, namun membahsa tentang adanya pergantian kelamin tersebut;

Begitu juga di PN Batang, seseorang laki-laki yang bernama AGUS WIDOYO, mengajukan permohonan pengesahan ganti kelamin menjadi seorang perempuan yang bernama NADIA ILMIRA ARKADEA sebagaimana tercantum dalam Penetapan PN BAtang nomor : 19/Pdt.P/2009/PN.Btg tanggal 22 Desember 2009.

Bentuk operasi kelamin

Dalam dunia kedokteran modern sendiri, dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu:

  1. Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal;

    seseorang yang ingin mengubah jenis kelaminnya sedangkan ia lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya dan bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium, maka pada umumnya tidak dibolehkan atau banyak ditentang dan bahkan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah.

    Para ulama fiqih mendasarkan ketetapan hukum tersebut pada dalil-dalil diantaranya yaitu Hadits Nabi saw.: "Allah mengutuk laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki." (HR. Ahmad). Oleh karena itu kasus ini sebenarnya berakar dari kondisi kesehatan mental yang penanganannya bukan dengan merubah ciptaan Tuhan melainkan melalui pendekatan spiritual dan kejiwaan (spiritual and psychological therapy).

  2. Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti alat kelamin yang tidak berlubang atau tidak sempurna;

    operasi kelamin yang dilakukan bersifat perbaikan atau penyempurnaan dan bukan penggantian jenis kelamin, maka pada umumnya itu masih bisa dilakukan atau dibolehkan. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan/atau sperma, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati.

    Para ulama seperti Hasanain Muhammad Makhluf (tokoh ulama Mesir) dalam bukunya Shafwatul Bayan (1987:131) memberikan argumentasi hal tersebut bahwa orang yang lahir dengan alat kelamin tidak normal bisa mengalami kelainan psikis dan sosial sehingga dapat tersisih dan mengasingkan diri dari kehidupan masyarakat normal serta kadang mencari jalannya sendiri, seperti melacurkan diri menjadi waria atau melakukan homoseks dan lesbianisme. Semua perbuatan ini dikutuk oleh Islam berdasarkan hadits Nabi saw.: "Allah dan rasulnya mengutuk kaum homoseksual" (HR.al-Bukhari). Guna menghindari hal ini, operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin boleh dilakukan. Dalam kaidah fiqih dinyatakan "Adh-Dhararu Yuzal" (Bahaya harus dihilangkan) yang menurut Imam Asy-Syathibi menghindari dan menghilangkan bahaya termasuk suatu kemaslahatan yang dianjurkan syariat Islam. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi saw.: "Berobatlah wahai hamba-hamba Allah! Karena sesungguhnya Allah tidak mengadakan penyakit kecuali mengadakan pula obatnya, kecuali satu penyakit, yaitu penyakit ketuaan." (HR. Ahmad)

  3. Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin.

    Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk 'mematikan' dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki alat kelamin pria dan wanita, sedangkan pada bagian dalam tubuhnya ia memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh menghilangkan alat kelamin prianya untuk memfungsikan alat kelamin wanitanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan zakar yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya. Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar "Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin" pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur.

    Khusus mengenai kasus yang terakhir ini, Pengadilan Negeri Purwokerto telah mengeluarkan putusan yang berkaitan dengan penggantian jenis kelamin atas Aan, seorang bocah berusia 6 tahun. Pada awalnya, bocah ini hanya memiliki alat kelamin wanita. Namun selang 10 hari setelah kelahirannya, dukun bayi yang membantu saat bocah ini dilahirkan melihat adanya munculnya alat kelamin laki-laki pada bayi tersebut. Dalam perkembangannya, Aan memiliki dua alat kelamin sehingga dilakukan pemeriksaan secara medis di Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta, dan diketahui bahwa Aan tidak memiliki rahim. Maka tidak adanya rahim dalam tubuh Aan menjadi salah satu pertimbangan PN Purwokerto untuk lebih menetapkan Aan sebagai pria dan bukan sebagai wanita.

    Dewan Gereja Indonesia ( DGI) terhadap perubahan kelamin tidak keberatan sepanjang perubahan kelamin tersebut merupakan satu-satunya jalan untuk menolong penderitaan si pemohon, sehingga ia dapat berkembang sebagai manusia yang wajar ( lihat Yudha Bhakti Adhiwisastra, Penafsiran dan kontruksi hukum, Alumni Bandung, 2000, hal 13-17, dan juga Penetapan PN Jakarta Selatan dan Barat No 546/73P tanggal 14 Nopember 1973)

Konsekuensi Hukum Atas Pergantian Kelamin

Ada beberapa hal yang menjadi konsekuensi hukum, atas pergantian kelamin tersebut, diantaranya sebgaai berikut :

  1. Perubahan data kependudukan

    Berdasarkan pasal 77 UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi kependudukan, tidak seorangpun dapat merubah/menganti/menambah identitasnya tanpa ijin Pengadilan;

    Dengan perubahan jenis kelamin tentunya seluruh juga ada perubahan mengenai data kependudukan. Dan berdasarkan ketentuan tersebut, sangat wajar apabila seorang yang telah melakukan operasi ganti kelamin mengajukan perubahan data identitas kependudukannya kepada pengadilan melalui sebuah Permohonan.

    perubahan status hukum dari seorang yang berjenis kelamin laki-laki menjadi seorang yang berjenis kelamin perempuan atau sebaliknya sampai dengan saat ini belum ada pengaturan dalam hukum, dengan demikian dalam masyarakat yang tidak diatur oleh hukum sehingga menimbulkan suatu kekosongan hukum;

    berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya"


     

    Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tersebut mengamanatkan bahwa Pengadilan melalui Hakim sebagai dari representasi Pengadilan sebagai pilar terakhir untuk menemukan keadilan bagi masyarakat dan demi kepentingan hukum yang beralasan kuat, wajib menjawab kebutuhan hukum masyarakat dengan menemukan hukumnya jika tidak ada pengaturan hukum terhadap perkara yang ditanganinya, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang ada, kepatutan dan kesusilaan;

    Sehingga Penetapan ganti kelamin merupakan sebuah jawaban dan sebuah penemuan hukum, karena belum ada suatu aturan yang mengatur tentang hal tersebut,sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.


     

  2. Perubahan mengenai status Ahli waris

    Pada awalnya ketika seseorang dilahirkan dikenal dengan keberadaannya sebagai perempuan namun dalam perkembangannya ada kelainan mengenai jenis kelaminnya, jika tidak melakukan operasi tentunya akan susah untuk menentukan jenis kelaminnya, dan sebagai solusi yaitu melakukan pergantian kelamin sebagaimana. Dalam Hukum islam yang menganut perbedaan bagian warisan antara ahli waris perempuan dan laki-laki. Dengan pergantian kelamin tersebut memperjelas berapa bagian yang akan di terima ahli waris tersebut yang telah melakukan perubahan kelamin.


     

KESIMPULAN

dari tulisan dia atas, dapat diambil sebuah kesimpulan yaitu sebagai berikut :

  1. Penggantian jenis kelamin masih dapat dibenarkann untuk memberikan penegasan status kepada subjek yang bersangkutan dalam hal terjadi jenis kelamin ganda. Namun jika hanya untuk menuruti kemauan dan hasrat seseorang, maka sebaiknya tidak dilakukan karena pada dasarnya yang bersangkutan telah menyalahi kodrat yang dianugerahkan Tuhan
  2. Perubahan jenis kelamin mengakibatkan perubahan status seseorang sehingga data kependudkannya juga harus diseseuaikan, selain itu juga bagi yang seorang muslim juga merubah atas-u mempertegas status kedudukan sebagai ahki waris, apakah sebagai pria atau wanita.
  3. Penetapan Pengaduilan tentang ganti kelamin merupakan sebuah jawaban dan sebuah penemuan hukum, karena belum ada suatu aturan yang mengatur tentang hal tersebut, sehingga tidak terjadi kekosongan hukum.


 

DAFTAR PUSTAKA;

Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, Mei 2010.

Penetapan Pengadilan Nengeri Batang Nomor.19/Pdt.P/2009/PN.Btg, tanggal 22 Desember 2009

Zulham Umar, Kedudukan Pergantian Jenis Kelamin Dalam Hukum Islam,http://zulpiero.wordpress.com/2010/06/11/77 tanggal 11 06 2010;


 

Pengangkatan Anak (ADOPSI)

Oleh

Wasis Priyanto, SH, MH

Ditulis Saat Bertugas di Pengadilan Negeri Sengeti, Kab Muaro Jambi

Agustus, 2010

Tulisan di atas pernah juga penulis Upload di http://oasis-pecintailmu.blogspot.com/


 

Pengertian

Pengangkatan anak atau bahwa pengangkatan anak dalam istilah Hukum Perdata Barat disebut adopsi. Dalam Kamus Hukum kata adopsi yang berasal dari bahasa latin adoptio diberi arti Pengangkatan anak sebagai anak sendiri, (lihat di Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, PT Ghalia, Bandung, halaman 28) Rifyal Ka'bah, dengan mengutip Blackl's Law Dictionary, mengemukakan bahwa adopsi adalah penciptaan hubungan orang tua anak oleh perintah pengadilan antara dua pihak yang biasanya tidak mempunyai hubungan /keluarga .(lihat dalam Rifyal Ka'bah, Pengangkatan Anak Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama ( Artikel dalam Suara UldilagEdisi Maret 2007 ))

Sebagaimana ketentuan dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.

Dasar Hukum

Pengaturan tentang penangkatan anak di atur antara lain di KUHPerdata (Untuk Golongan Tionghoa dan Timur Asing) dan juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak. Selain dalam pengangkatan anak itu juga perlu diperhatikan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) nomor 2 tahun 1979 jo SEMA 6 tahun 1983 jo SEMA 4 tahun 1989;

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak membedakan antara Anak angakat dan anah asuh

  • Anak angkat (Pasal 1 angka 9) adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

    Pengertian anak angkat sama dengan pengertian anak angkat dalam PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dalam pasal 1 angka 1

  • Anak asuh(Pasal 1 angka 10) adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar

UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (pasal 14) dapat diambil sebuah prinsip bahwa Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pihak Yang Dapat Mengajukan Pengangkatan Anak;

Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengesahan atau pengangkatan anak yaitu:

  1. Pasangan suami istri yang tidak mempunyai anak atau yang memutuskan untuk tidak mempunyai anak;
  2. mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan.

Untuk pasangan suami istri Ketentuan mengenai adopsi anak diatur dalam SEMA No.6 tahun 1983 tentang penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengesahan/pengangkatan anak. Selain itu Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak juga menegaskan bahwa syarat untuk mendapatkan izin adalah calon orang tua angkat berstatus kawin dan pada saat mengajukan permohonan pengangkatan anak, sekurang-kurangnya sudah kawin lima tahun. Keputusan Menteri ini berlaku bagi calon anak angkat yang berada dalam asuhan organisasi sosial.

Untuk mereka yang memutuskan untuk tidak menikah atau tidak terikat dalam perkawinan sebagaimana ketentuan dalam Staatblaad 1917 No. 129 tentang pengangkatan anak bagi orang-orang Tionghoa yang selain memungkinkan pengangkatan anak oleh Anda yang terikat perkawinan, juga bagi yang pernah terikat perkawinan (duda atau janda). Namun bagi janda yang suaminya telah meninggal dan sang suami meninggalkan wasiat yang isinya tidak menghendaki pengangkatan anak, maka janda tersebut tidak dapat melakukannya.

Tata cara Pengangkatan Anak

Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.6/83 yang mengatur tentang cara mengadopsi anak menyatakan bahwa untuk mengadopsi anak harus terlebih dahulu mengajukan permohonan pengesahan/pengangkatan kepada Pengadilan Negeri di tempat anak yang akan diangkat itu berada. Bentuk permohonan itu bisa secara lisan atau tertulis, dan diajukan ke panitera. Permohonan diajukan dan ditandatangani oleh pemohon sendiri atau kuasanya, dengan dibubuhi materai secukupnya dan dialamatkan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal/domisili anak yang akan diangkat .

Pengangkatan anak diatur dalam UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu Pasal 39 – 41 jo PP No 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak pasal 6 dapat diambil prinsip-prinsip dalam pengangkatan anak:

  1. Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  2. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya. Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya. Dan pemberitahuannya haruslah memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan
  3. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
  4. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Syarat-Syarat Pengangkatan Anak
Dalam ketentuan PP No 54 Tahun 2007 Pasal 12 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan bahwa anak yang hendak dijadikan anak angkat atau di adopsi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

  1. belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
  2. merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
  3. berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
  4. memerlukan perlindungan khusus.

Berkaitan umur si anak,ada beberapa pembagain yaitu :

  1. anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
  2. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
  3. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.

 
 

Syarat sebagai Calon orang tua angkat harus memenuhi kententuan dalam ketentuan PP No 54 Tahun 2007 Pasal 13 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu :

  1. sehat jasmani dan rohani;
  2. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun;
  3. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
  4. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan;
  5. berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
  6. tidak merupakan pasangan sejenis;
  7. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;
  8. dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
  9. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak;
  10. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
  11. adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat;
  12. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
  13. memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.

SEMA No 2 tahun 1979 jo SEMA No 6 tahun 1983 jo SEMA No 4 tahun 1989; permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Pengadilan Negeri yang daerah hukummnya meliputi tempat anak yang akan diangkat itu berada.

Sejak berlakuknya UU Nomor 3 Tahun 2006, membolehkan Pengadilan Agama untuk menangani Pengangkatan Anak. Kewenangan itu diatur dalam penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20, yang menyebutkan bahwa PA berwenang mengadili "penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam".Dengan aturan itu terkesan ada dua badan peradilan yang berwenang mengurusi adopsi anak, yaitu PA dan Pengadilan Negeri (PN). Akan tetapi jelas Perbedaan Pengangkatan anak/ Adopsi yang dijaukan ke Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, Perbedaannya yaitu sebagai berikut :

" Permohonan Anak Angkat yang ditujukan oleh Pemohon yang beragama Islam dengan maksud untuk memperlakukan anak angkat sebagai anak kandung dan dapat mewaris, maka Permohonan diajukan Ke Pengadilan Negeri, sedangkan apabila dimaksudkan untuk dipelihara, maka permohonan diajukan ke Pengadilan Agama " (lihat di Pedoman Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam empat Lingkungan Peradilan, BUKU II Edisi 2007, MAHKAMAH AGUNG RI 2009 Halaman 44)

Pengangkatan Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing

Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing sebagaimana dimaksud dalam meliputi 2 hal , yaitu :

  1. pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing; dan
  2. pengangkatan anak Warga Negara Asing di Indonesia oleh Warga Negara Indonesia.

Pengangkatan anak Pengangkatan anak antara Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing dilakukan melalui putusan pengadilan.

Tata cara pengangkatan anak Anak Antara Warga Negara Indonesia Dengan Warga Negara Asing;

Pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing sebagaimana harus memenuhi syarat:

  1. memperoleh izin tertulis dari pemerintah negara asal pemohon melalui kedutaan atau perwakilan negara pemohon yang ada di Indonesia;
  2. memperoleh izin tertulis dari Menteri; dan
  3. melalui lembaga pengasuhan

 
 

Selain memenuhi persyaratan calon orang tua angkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 PP No 54 Tahun 2007, calon orang tua angkat Warga Negara Asing juga harus memenuhi syarat tambahan, yaitu:

  1. telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2 (dua) tahun;
  2. mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah negara pemohon; dan
  3. membuat pernyataan tertulis melaporkan perkembangan anak kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.

 
 

Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh Warga Negara Indonesia harus memenuhi syarat:

  1. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik Indonesia; dan
  2. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.

Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal hanya dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia setelah mendapat izin dari Menteri atau kepala instansi sosial di provinsi yang telah mendapat delegasi.

Pengangakatan anak oleh seorang WNA atau seorang WNI terhadap WNA (pengangkatan anak antar negara/ Inter Country Adoption) hanya dapat dilakuka dalam daerah Pengadilan Negeri dimana Yayasan yang ditunjuk Departemen Sosial RI untuk dapat dilakukannya
Inter Country Adoption
berada. Yang saat ini ada 6, yaitu :

  1. DKI Jakarta         : Yayasan Sayap Ibu, Yayasan Bhakti Nusantara "Tiara Putra"
  2. Jawa Barat        : Yayasan Pemeliharaan Anak Di Bandung
  3. DI Jogjakarta        : Yayasan Sayap Ibu
  4. Jawa Tengah        : Yayasan Pemeliharaan Anak dan Bayi di Solo
  5. Jawa Timur         : Panti Matahati Terbit di Surabaya
  6. Kalimantan Barat     : Yayasan Kesejahteraan Ibu dan Anak Pontianak.

(pengangkatan anak antar negara/ Inter Country Adoption) dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimatum remedium) dan pelaksanaanya harus memperhatikan SEMA no 6 tahun 1983 Jo SEMA 4 tahun 1989 jo UU no 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, pasal 39, pasal 40 dan pasal 41;

Yurisprudensi Surat Kuasa


  1. Putusan MA-RI No. 2332.K/Pdt/1985, tanggal 29 Mei 1986 : Direktur suatu Badan Hukum (PT) dapat bertindak langsung mengajukan gugatan dan tidak perlu lebih dulu mendapatkan surat kuasa khusus dari Presiden Direktur dan para pemegang saham, karena PT sebagai Badan hukum dapat langsung mengajukan gugatan diwakili oleh Presiden Direktur (= Dirut).
  2. Putusan MA-RI No. 2884.K/Pdt/1985, tanggal 29 Mei 1986 : Jika ternyata kedudukan yang disandang seseorang adalah lembaga Perwakilan atau Representative menurut Common Law System (Anglo Saxon), hal itu tidak sama pengertian dan bentuk kuasa yang dikenal dalam BW.

    In Casu, ternyata Tergugat adalah Representative dari United Maritim Corp. SA. sehingga dia sepenuhnya dapat digugat sebagai subyek yang bertanggung jawab penuh tanpa kuasa dari induk perusahaan;

  3. Putusan MA-RI No.2539K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 : Ternyata PD Panca Karya adalah Badan Hukum dan menurut PERDA Tk. I Maluku No. 5/1963, Ps. 16 (1) Direksi mewakili Perusahaan Daerah (PD) di dalam dan diluar Pengadilan, dia dapat bertindak sebagai pihak (subyek) tanpa kuasa dari Pemda".

    Istilah pemberian kuasa Khusus tertulis kemudian di informasikan sebagai "Surat Kuasa Khusus" sebagaimana Pasal 123 HIR/147 RBg dan dipertegas lagi dengan SEMA yang menentukan syarat-syarat sahnya surat kuasa khusus tersebut;

  4. Putusan MA-RI No.779.K/Pdt/1992 :

"Tidak diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus dibawah tangan. Tanpa legalisasi surat kuasa khusus di bawah tangan telah memenuhi syarat formil";

  1. Putusan MA-RI No.321.K/Sip/1974, tanggal 19 Agustus 1975 : Tentang Kuasa limpahan (Kuasa Substitusi) Pengoperan pemberian kuasa dari pihak kuasa penjual dengan hanya membuat suatu pernyataan dan bukan berdasarkan surat kuasa Substitusi adalah tidak sah;
  2. Putusan MA-RI No.1060.K/Sip/1972, tanggal 14 Oktober 1975 :

    Meskipun dalam surat kuasa tanggal 3 Agustus 1969 ada kata-kata "Surat Kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali", pembatalan surat Kuasa tersebut oleh pemberi kuasa dapat dibenarkan menurut hukum, karena hal ini adalah hak daripada pemberi kuasa dan ternyata penerima kuasa telah mengadakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap Surat Kuasa;

  3. Putusan MA-RI No.731.K/Sip/1975, 16 Desember 1976 : Ketentuan Pasal 1813 BW, tidak bersifat limitatif dan juga tidak mengikat oleh karena itu jika sifat perjanjian memang menghendaki, dapat ditentukan pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (Kuasa Mutlak) karena pasal-pasal dalam hukum perjanjian bersifat mengatur, vide = Putusan MA-RI No. 3604.K/Pdt/1985, tanggal 17 Nopember 1987;

  4. Putusan MA-RI No. 941.K/1975, tanggal 8 Pebruari 1977 : Karena menurut kenyataan sehari-hari Tergugat bertindak selaku Kepala Cabang PT. Pelayaran Rakyat Indonesia di Ujung Pandang, ia harus dipandang bertanggung jawab di dalam maupun di luar Pengadilan. (Persona Standi In Judicio);
  5. Putusan MA-RI No.601.K/Sip/1975, tanggal 20 April 1977 : Gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena dalam surat gugatan, Tergugat digugat secara pribadi, padahal dalam dalil gugatan, Tergugat digugat secara pribadi, padahal dalam dalil gugatannya (Posita) disebutkan Tergugat sebagai pengurus yayasan yang menjual rumah-rumah milik yayasan, seharusnya Tergugat digugat sebagai Pengurus yayasan;
  6. Putusan MA-RI No.1004.K/Sip/1974, tanggal 27 Oktober 1977 :

    Karena Pemerintah Kelurahan Krajan digugat dalam kedudukannya selaku aparat Pemerintah Pusat, gugatan seharusnya disampaikan kepada Pemerintah RI qq. Depdagri 11. Gubernur Jateng qq. Pemerintah Kelurahan Krajan.

  7. Putusan MA-RI No. 453.K/Sip/1971, tanggal 27 April 1976; Karena dalam surat kuasa sudah disebutkan untuk pemeriksaan dalam tingkat banding kasasi, dan dari berita acara pemeriksaan sidang pertama ternyata bahwa yang bersangkutan hadir sendiri dengan didampingi oleh kuasanya, maka dianggap surat kuasa tersebut juga untuk pemeriksaan tingkat banding dan sudah khusus, meskipun surat kuasa itu tidak dibuat untuk perkara ini, sehingga permohonan banding seharusnya dapat diterima;
  8. Putusan MA-RI No.01.K/Sip/1971, tanggal 13 Nopember 1971 :

    Suatu surat kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi yang memuat dua tanggal (dimana tanggal yang satu adalah tanggal 29 Oktober 1970 dan tanggal yang lain adalah tanggal 29 Nopember 1970) dan akta kasasi diajukan tanggal 23 Nopember 1970, harus dikualifikasi (diqualificeer) sebagai suatu surat kuasa yang tidak dapat memberi wewenang kepada pemegang surat kuasa tersebut untuk bertindak atas nama si pemberi kuasa;

  9. Putusan MA-RI No.288.PK/Pdt/1986, tanggal 23 Desember 1987 :

    Baik putusan Pengadilan Tinggi maupun putusan Mahkamah Agung, hanya menilai segi formalnya dari penggunaan upaya hukum yang keliru terhadap putusan verstek oleh Pemohon PK/dahulu PelawanTergugat verstek, maka permohonan PK ditafsirkan ditujukan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 19 Agustus 1982 No. 158/1982 G;

    Karena ternyata Surat Kuasa yang diterima oleh Julian Usman dan H. Nuranini dan Siti Djuriah, masing-masing tanggal 25 Juni 1987 sebagai dasar untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak menyebutkan obyek perkara, sehingga Surat Kuasa tersebut tidak memenuhi syarat Surat Kuasa Khusus karena tidak menyebut apa yang harus digugat (obyek gugatan), sedang surat-surat kuasa lainnya (bukti P.V s.d. P.VIII) selain tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mengajukan gugatan juga tidak menyebutkan kewenangan penerimaan kuasa untuk mengajukan gugatan dan karenanya gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima;

    Pasal 123 HIR, Pasal 67 dst UU No. 14 Th. 1985, Pasal 125 HIR.

  10. Putusan MA-RI No.425.K/Pdt/1984, tanggal 30 September 1985 :

    Sekalipun surat kuasa Penggugat tidak bersifat khusus, karena tidak menyebutkan subyek gugatannya sebagai pihak Tergugat, tetapi karena dalam beberapa kali persidangan Penggugat secara pribadi hadir maka harus dianggap bahwa Penggugat tidak keberatan didampingi oleh kuasanya dengan segala sesuatunya yang berhubungan dengan gugatan perkara itu;

  11. Putusan MA-RI No.359/Pdt/1992, tanggal 10 Maret 1994 :

    Bahwa judec-facti telah salah menerapkan hukum, surat gugatan Tergugat dibuat dan ditandatangani oleh kuasanya tertanggal 3 Desember 1988, dengan demikian pada tanggal 3 Desember 1988 yang bersangkutan belum menjadi kuasa hukumnya, sehingga ia tidak berhak menandatangani surat gugatan tersebut;

  12. Putusan MA-RI No.904.K/Sip/1973, tanggal 29 Oktober 1975 :

    Dalam mempertahankan gono-gini, terhadap orang ketiga, memang benar salah seorang dari suami-isteri dapat bertindak sendiri, tetapi karena perkara ini tidak mengenai gono-gini, suami tidak dapat bertindak selaku kuasa dari istrinya tanpa Surat Kuasa Khusus untuk itu;

  13. Putusan MA-RI No. 668.K/Sip/1974, tanggal 19 Agustus 1975 :

    Keberatan yang diajukan Penggugat untuk kasasi : bahwa Surat Kuasa tanggal 30 April 1972 tidak relevan karena pemberi kuasa (A. Sarwani) selalu hadir dalam sidang-sidang Pengadilan Negeri sampai pada putusan diucapkan; dapat dibenar-kan, karena Surat Kuasa tersebut sudah cukup, karena menyebut : "mengajukan gugatan terhadap BNI-1946 Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/Barat", dan juga menyebut "naik appel", lagi pula pada persidangan-persidangan Pengadilan Negeri pihak materiele partij juga selalu hadir;

    Oleh Pengadilan Tinggi Surat Kuasa tersebut karena hanya menyebut pihak-pihak yang berperkara saja dan sama sekali tidak menyebut apa yang mereka perkarakan itu, dianggap tidak bersifat khusus, bertentangan dengan Pasal 123 HIR sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima;

  14. Putusan MA-RI No.174.K/Sip/1974, tanggal 6 Maret 1975 : Bahwa orang yang dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri di dengar sebagai saksi, di Pengadilan Tinggi bertindak sebagai Kuasa dari Terbanding / Penggugat asal, tidaklah bertentangan dengan HIR;
  15. Putusan MA-RI No.42.K/Sip/1974, tanggal 5 Juni 1975 : Orang yang bertindak sebagai kuasa penjual dalam jual-beli, tidak dapat secara pribadi (tanpa Kuasa Khusus dari penjual) mengajukan gugatan terhadap pembeli, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima);
  16. Putusan MA-RI No.116.K/Sip/1973, tanggal 16 September 1975 Surat Kuasa yang isinya : "Dengan ini kami memberi kuasa kepada Abdul Salam ….guna mengurusi kepentingan kami untuk mengajukan gugatan, bukti-bukti serta saksi-saksi di Pengadilan Negeri Gresik", adalah bukan Surat Kuasa Khusus dan surat gugatan yang ditandatangani dan diajukan oleh Kuasa berdasarkan Surat Kuasa tersebut dinyatakan tidak dapat diterima;
  17. Putusan MA-RI No. 531.K/Sip/1972, tanggal 25 Juli 1974 :

    Surat Kuasa untuk menjaga, mengurus harta benda yang bergerak dan tidak bergerak, tanah-tanah, rumah-rumah, hutang dan semua kepentingan seseorang adalah suatu Surat Kuasa Umum yang bagaimanapun juga tidak dapat dianggap sebagai suatu Surat Kuasa Khusus untuk berperkara di depan Pengadilan;

  18. Putusan MA-RI No.1158.K/Sip/10973, tanggal l13 Januari 1974 :

    Surat Kuasa tanggal 3 Mei 1971 menunjukkan kepada gugatan yang sudah masuk yang sudah jelas-jelas siapa-siapa lawan dalam perkara dan apa saja yang menjadi obyek perselisihan sehingga sudah memenuhi ketentuan Pasal 123 HIR;

  19. Putusan MA-RI No.106.K/Sip/1973, tanggal 11 Juni 1973 : Surat Kuasa yang diketahui dan disahkan oleh Camat bukanlah Surat Kuasa yang dikehendaki oleh Pasal 147 Rbg., maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima;
  20. Putusan MA-RI No. 425.K/Pdt/1984, tanggal 30 September 1985 :
  • …………….dst;
  • Mengenai Surat Kuasa yang dimaksud dapat dijelaskan bahwa sebenarnya Surat Kuasa tersebut tidak bersifat khusus, akan tetapi karena Penggugat hadir sendiri didampingi kuasanya maka menjadi jelas/pasti bagi Tergugat bahwa Penggugat benar telah memberi kuasa kepada kuasanya yang dimaksud. Oleh karena itu pula Tergugat tidak mengajukan eksepsi terhadap Surat Kuasa tersebut;
  • Perlu diperhatikan pula bahwa ternyata Pengadilan Negeri dalam prakteknya sering tidak memperhatikan tepat atau tidaknya suatu Surat Kuasa. Seperti halnya dalam perkara ini Pengadilan Negeri sama sekali tidak memper-timbangkan mengenai Surat Kuasa ini;
  1. Putusan MA-RI No.288.PK/Pdt/1986, tanggal 23 Desember 1987 :

    Surat Kuasa Khusus

    1. Tafsiran Majelis Peninjauan Kembali terhadap permohonan peninjauan kembali sehingga dianggap diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat menurut hemat saya (Prof. Asikin Kusumah Atmadja, SH.) adalah tepat;
    2. Menurut hemat saya masih merupakan suatu pernyataan terbuka – SOR – apakah Surat Kuasa yang keliru karena tidak menyebut apa yang harus digugat, merupakan suatu kekeliruan yang nyata seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 67 dst. Undang-undang No. 14 th. 1985.

Yurisprudensi Tentang Syarat-Syarat Gugatan


 


 

  1. Putusan MA-RI No. 840.K/Sip/1975, tanggal 4 Juli 1978: Surat gugatan bukan merupakan Akta Dibawah Tangan, maka surat gugata tidak terikat pada Ketentuan-ketentuan Ps. 286 (2) Rbg. Jo. Stb. 1916-46 jo. Stb. 1919-776;


     

  2. Putusan MA-RI No. 769.K/Sip/1975, tanggal 24 Agustus 1978:

    Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir, berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian;


     

  3. Putusan MA-Ri No. 1149.K/Sip/1975, tanggal 17 April 1979; karena surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas-batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima;


     

  4. Putusan MA-RI No. 415.K/Sip/1975, tanggal 27 Juni 1979 : Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat-Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing-masing Tergugat harus digugat sendiri-sendiri;


 

  1. Putusan MA-RI N0. 1075.K/Sip/1980 :

    Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan Hukum, karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat diterima;


     

  2. Putusan MA-RI No. 663.K/Sip/1973, tanggal 6 Agustus 1973 : Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi obyek dalam perkara harus ditolak;


     

  3. Putusan MA-RI No. 28.K/Sip/1973, tanggal 5 Nopember 1975 :

    Karena rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak;


     

  4. Putusan MA-RI No. 582.K/Sip/1973, tanggal 18 Desember 1975 :

    Karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  5. Putusan MA-RI No. 492.K/Sip/1970, tanggal 21 Nopember 1970 :

    Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa-apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  6. Putusan MA-RI No. 1391.K/Sip/1975, tanggal 26 April 1979 : Karena dari gugatan Penggugat tidak jelas batas-batas dusun sengketa digugat, hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima;


     

  7. Putusan MA-RI N0. 439.K/Sip/1968, tanggal 8 Januari 1969 : Tentang tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan oleh semua ahli waris;


     

  8. Putusan MA-RI No. 6.K/Sip/1973, tanggal 21 Agustus 1973; Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal ini karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas;


     

  9. Putusan MA-RI No. 995.K/Sip/1975, tanggal 8 Agustus 1973 : Bahwa Terbanding semula Penggugat sebagai seorang Debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban-kewajiban ialah kewajiban untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap Kreditornya, sedangkan bagi pengajuan gugat haruslan ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan;


     

  1. Putusan MA-RI No. 1360.K/Sip/1979, tanggal 17 Juni 1976 : Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya tanah terperkara disahkan menjadi hak "miliknya", sedangkan Penggugat mendasarkan gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU);

    -    Karena walaupun petitum menyebut milik, tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha;


     

  2. Putusan MA-RI No. 4.K./Sip/1958, tanggal 13 Desember 1958;

    Syarat materiil daripada Gugatan. Syarat Mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak;


     

  3. Putusan MA-RI No. 763.K/Sip/1977, tanggal 10 Mei 1979; Gugatan terhadap pihak yang memegang barang sengketa berdasarkan suatu putusan Pengadilan yang telah dieksekusi berdasarkan suatu putusan Pengadilan yang telah dieksekusi dapat saja diterima dan dipandang sebagai suatu perkara baru;


 

  1. Putusan MA-RI No. 1699.K/Sip/1975, tanggal 10 April 1979; Permohonan keadilan (oleh Penggugat) sebagai Petitum Subsidair dianggap secara hukum diajukan pula, dan mengabulkan hal-hal yang tidak diminta juga dibenarkan, asal tidak melampaui batas-batas dan Posita;


     

  2. Putusan MA-RI No.252.K/Sip/1962, tanggal 25 April 1962; Isi Surat Gugatan dalam hal harta warisan untuk sebagian sudah dibagi-bagi, untuk menggugatkan pembagian daripada sisa warisan itu tidaklah mutlak harus dimasukkan di dalam gugatan rincian mengenai barang-barang yang telah dibagi, karena hal itu Hakim selalu dapat menyeledikinya dalam mengadakan pembagian yang seadil-adilnya atas sisa warisan itu;


     

  3. Putusan MA-RI No.565.K/Sip/1973, tanggal 21 Agustus 1974;

    Isi Surat Gugatan. Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal ini karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas;


     

  4. Putusan MA-RI No.195.K/Sip/1955, tanggal 28 Nopember 1956'

    Walaupun gugat lisan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri tidak lengkap, tetapi dengan adanya tuntutan Subsidair : Mohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengambil putusan yang dianggap adil olehnya, dan sesuai dengan Hukum Adat, Pengadilan selayaknya memberi putusan yang seadil-adilnya, dengan menyelesaikan sengketa perdata untuk seluruhnya;


     

  5. Putusan MA-RI No.616.K/Sip/1973, tanggal 5 Juni 1973 : Karena Penggugat tidak memberikan dasar dan alasan pada gugatannya itu, ialah ia tidak menjelaskan berapa hasil sawah-sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak 10 gunca setahun (tidak dirinci, sehingga tidak jelas), gugatan haruslah ditolak;


     

  6. Putusan MA-RI No.1343.K/Sip/1975, tanggal 15 Mei 1979 : Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena (gugatan tersebut) tidak memenuhi persyaratan formal, gugatan masih dapat diajukan lagi;


     

  7. Putusan MA-RI No.689.K/Sip/1974, tanggal 2 Nopember 1976 :

    Dalam perkara ini ganti rugi tidak dapat diberikan karena dengan dituntut; soal ganti rugi tersebut dapt dituntut kemudian dengan perkara lain;


     

  8. Putusan MA-RI No.1001.K/Sip/1972, tanggal 17 Januari 1973 :

    Dalam diktum (amar) putusan, Hakim dilarang untuk mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut atau yang melebihi daripada yang diminta Penggugat;


     

  9. Putusan MA-RI No.77.K/Sip/1973, tanggal 19 September 1973 :

    Karena dalam Petitum tidak dituntut ganti rugi, putusan Pengadilan Tinggi yang mengharuskan Tergugat mengganti kerugian harus dibatalkan;


     

  10. Putusan MA-RI No.372.K/Sip/1970, tanggal 1 September 1971 :

    Putusan Pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan, haruslah dibatalkan;


     

  11. Putusan MA-RI No.339.K/Sip/1969 :

    Putusan yang menyimpang dari isi tuntutan, baik karena meliputi hanya sebagian, harus dibatalkan;


     

  12. Putusan MA-RI No.1375.K/Sip/1975, tanggal 27 Nopember 1976 :

    Oleh karena tuntutan ganti rugi uang didalilkan oleh Penggugat dan ada dalam petitum gugatan, tidak diperiksa dan diputus oleh judex-facti, maka kepada Pengadilan Negeri perlu diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan perihal tersebut;


     

  13. Putusan MA-RI No.76.K/Sip/1957, tanggal 19 Pebruari 1958 :

    Untuk menerima gugatan supaya suatu tambak dikosongkan berdasar atas tidak sahnya pembelian tambak itu oleh Penggugat, tidaklah perlu dalam gugatan diminta pembatalan jual-beli tambak itu dan tidak perlu pula untuk turut menggugat si penjual dari tambak itu;


     

  14. Putusan MA-RI No. 19.K/Sip/1983, tanggal 31 Oktober 1983 : Karena gugatan ganti rugi tidak dirinci, lagi pula belum diperiksan oleh judex-facti, gugatan ganti rugi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  15. Putusan MA-RI No. 492.K/Sip/1970, tanggal 21 Nopember 1970 :

    Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima, seperti halnya dalam perkara ini dituntutkan :

    -    agar dinyatakan sah semua keputusan Menteri Perhubungan Laut, tetapi tidak disebutkan peraturan-peraturan yang mana;

    -    agar dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum sejak perbuatan Tergugat terhadap Penggugat dengan tidak menyebutkan perbuatan yang mana;

    -    agar dihukum membayar ganti-rugi sebesar Rp 1.000.000,- tanpa merinci untuk kerugian-kerugian apa saja;


     

  16. Putusan MA-RI No.81.K/Sip/1971, tanggal 9 Juli 1975 : Karena setelah diadakan Pemeriksaan Setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung, tanah yang dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  17. Putusan MA-RI No. 1380.K/Sip/1973, tanggal 11 Nopember 1975 :

    Putusan penggugat yang berbunyi : "Menghukum Tergugat supaya tidak mengambil tindakan yang bersifat merusakkan bangunan-bangunan tersebut" tidak dapat dikabulkan, sebab bersifat negatif.

ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN

Ada 7 (tujuh) asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harusb diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu :

  1. Asas sistem terbukanya hukum perjanjian, Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat dalam Buku III BW merupakan kaidah pelengkap yang boleh tidak diindahkan oleh para pihak yang membuat perjanjian. Sejauh mana dibolehkan penyimpangan itu, berkaitan dengan asas-asas yang lain.
  2. Asas Konsensualitas, artinya sejak detik tercapainya Konsensus atau Kesepakatan antara kedua belah pihak, sejak itulah timbulnya suatu perjanjian.
  3. Asas Personalitas, Artinya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian, kecuali untuk dirinya sendiri.
  4. Asas itikad baik ( in good faith, tegoeder trouw, de bonne foi). Pengertian itikad baik mempunyai dua arti :
    1. Arti yang Objectif : bahwa perjanjian yang dibuat itu harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan damn kesusilaan. Konsekuensinya disini, hakim dapat melakukan intervensi terhadap isi perjanjian yang telah dibuat para pihak yang bersangkutan.
    2. Arti yang Subjectif, yaitu pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang
  5. Asas pacta sunt servanda, yaitu semua perjanjianyang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
  6. Asas force majeur
    atau asas keadaan memaksa, dimana debitur di bebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang memaksa. Keadaan yang memaksa itu adalah keadaan dimana debitur memang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yabng timbul di luar dugaan tadi.
  7. Asas exception non adimpleti contractus. Merupakan pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alas an kreditur pun lali. Asas ini terutama berlaku di dalam perjanjian timbal balik.


     

(SUMBER. Prof. DR. ACHMAD ALI, SH, MH, Menguak Tabir Hukum (sutau kajian filosofis dan Sosiologis,) Gunung Agung Jakarta, 2002 Halaman 248.

CARA MEMBUAT SURAT KUASA

SURAT KUASA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat tugas Di Pengadilan Negeri Ungaran KabSemarang Penggunaan surat kuasa saat in...