NGEMEL….
Apa
arti istilah “Ngemel” itu sendiri ternyata tidak dapat di ketemukan dalam kamus
besar bahasa Indonesia. Namun demikian kata “ngemel” sangat popular
dimasyarakat, khususnya mereka yang berhubugan dengan dunia transportasi atau
pengangkutan.
Disini
penulis mau mencoba mendefinisikan apa arti “Ngemel”. Ngemel menurut penulis adalah suatu perbuatan
seseorang yang meminta sejumlah uang kepada pihak lain agar perjalanan orang
tersebut lancar. Definisi ini masih sangat sumir namun mungkin ilustrasi atau
tulisan dibawah ini bisa memberikan pencerahan atau pendapat lain dari pembaca
bagaimana mendefinisikan apa arti “ngemel”.
Kalau
dilihat dari orang yang melakukan tindakan “ngemel” tersebut dapat di bagi
menjadi 2 yaitu. Yang pertama adalah Pihak
yang tidak mempunyai kewenangan dan yang kedua aparat yang mempunyai
kewenangan.
Pihak
yang tidak mempunyai kewenangan disini biasa di panggil preman. Preman ini ada
yang berkerja sendiri dan ada juga yang berkerja secara kelompok. Preman yang
bekerja secara berkelompok ini teroganisir dengan baik. Preman ini biasanya
meminta uang “ngemel” dengan dalih biaya keamanan. Mereka melakukannya biasa meninta kepada
sopir-sopir yang melakukan bongkar muatan, mengambil muatan, atau yang sedang
melintasi suatu jalan didaerah tertentu.
Pihak
yang memiliki kewenangan yang melakukan “ngemel” itu diantaranya adalah Oknum
DLLAJ dan Oknum dari Polantas. Oknum
DLLAJ ini yang paling sering adalah di Jembatan Timbang, dan retribusi masuk
kota. Di jembatan Timbang jelas uang “ngemel” diberikan kepada sopir atau
pengguna jasa angkutan karena adanya kelebihan tonase/timbangan. Sebenarnya kalau dilihat aturannya kelebihan
tonase ini dikenakan tindakan Tilang atau Penurunan muatan yang dibawa, namun
jika adanya uang “ngemel” itu semua urusan jadi beres.
Oknum
Polantas lain lagi. Uang “ngemel” diberikan oleh sopir atau pengguna jasa
angkutan agar tidak dikenakan Tilang atas pelanggaran yang dilakukan sopir.
Pelangaran bisa karena tonase atau kubikasi angkutan, dan juga pelanggaran yang
lainnya.
Besaran
uang “ngemel” itu bervariasi. Mulai dari Rp 2.000,- (dua ribu rupiah) sampai Rp
50,000,- (lima puluh ribu rupiah). Bahkan untuk hal kejadian tertentu uang
“ngemel” ini bisa bernilai ratusan ribu rupiah. Semua tergantung pelanggaran
dan besarnya jasa pengamanan. Antara
tempat yang satu dengan tempat lain, antara oknum petugas yang satu dan yang
lain berbeda soal besaran “ngemel”nya. Untuk sopir yang sering lewat tempat
atau sudah tahu lokasi, mereka mengerti berapa besaran “ngemel”, dan mereka pun sudah menyiapkan uang di mobil
mereka untuk ngemel tersebut.
Uraian diatas adalah
sepenggal kisah pengalaman penulis saat menggunakan jasa angkutan saat
mengantar barang pindahan rumah karena tugas Negara dari jambi ke lampung.
Walaupun tidak ditulis secara mendeting tetapi itulah kenyataan yang ada.
Dampak Ngemel
“Ngemel”
seolah sudah menjadi budaya, karena sudah menjadi rahasia umum dikalangan
sopir/pengguna angkutan. Sopir/pengguna angkutan ini harus menyiapkan uang
lebih guna membayar “ngemel” tersebut.
Disini jelas berpengaruh pada biaya pengiriman atau ongkos kirim
sehingga menjadi mahal. Dan juga potensi penghasilan sopir berkurang.
Akibat
“ngemel” tersebut potensi penghasilan Negara atau pemerintah juga berkurang.
Uang retribusi yang seharusnya masuk ke Negara ternyata tidak masuk kenegara.
Karena oknum yang melakukan “ngemel” tersebut tidak pernah memberikan tanda
penarikan retribusi yang menjadi bukti penerima Negara.
Citra
instansi menjadi buruk akibat ulah beberapa oknum. Namun jika ini dikatakan perilaku oknum, bisa
juga salah. Kalau perilaku oknum terjadi hanya sekali atau dua kali, tetapi
kalau kejadian ini terjadi berulang-ulang tentunya sudah seperti menjadi
budaya. Ataukan sesuatu yang masif.
Hipotesa
bahwa itu suatu kebijakan masif adalah besarnya uang “ngemel” ini kemana?.
Tidak kalau hanya di terima oknum tersebut betapa kayanya oknum aparat
tersebut. Tentunya jika mau PPATK bisa melacak arah mengalirnya uang “mgemel”
itu. Sebagaimana pengalaman dari penulis saat mengangkut barang dari jambi ke
lampung harus mengeluarkan uang sebersar Rp 100.000,- (seratus ribu
rupiah). Ini baru satu mobil, bayangkan
berapa banyak mobil yang melewati jalan lintas Sumatra jika dala sehari saja
ada 1000 buah mobil nilai ngemel itu mencapai 100.000.000,- (seratus juta
rupiah) dalam sehari dan sebulan bisa dikalkulasikan menjadi 3 Milyar rupiah.
Jumlah yang tidak sedikit
Terlepas
suka atau tidak suka perbuatan “ngemel” oleh petugas sudah bisa dikategorikan
sebagai “suap” yang bisa di ancam dengan UU tindak pidana Korupsi, sedangkan
apabilan dilakukan oleh orang biasa bisa diancam dengan tindak pidana
Pemerasan.
Apakah
budaya “ngemel” ini bisa hilang. Itu semua tergantung pada niat baik (good
will) dari aparat untuk memberantas preman dan juga menindak perilaku oknum
petugas yang masih melakukan tindakan tersebut.
Ditunggu saja tanggal mainnya…..