PRAPERADILAN PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
Oleh : Wasis Priyanto,SH,MH
Ditulis saat bertugas di Pengadilan Negeri
Muara Bulian
Mei 2012
Pada hari selasa tanggal 01 Mei 2012 Mahkamah Konstitusi telah
menjatuhkan putusan nomor :65
/PUU/-IX/2011 yang dalam amar putusannya menyatakan
- Pasal 83
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
- Pasal 83
ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat;
Uji materiil
tersebut di mohonkan oleh sdr. : Tjetje
Iskandar Yang memberi kuasa kepada Albert Nadeak, SH, Garri O
Pandiangan, SH, dan Henry Apriando Nadeak, SH adalah Advokat dan Konsultan
Hukum yang tergabung dalam Kantor Law Firm ALBERT BAGINDA & PARTNERS Jalan
RS. Fatmawati Nomor 50 Blok A Nomor 11 Jakarta Selatan 12440.
Pasal 83 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan:
“Dikecualikan dari ketentuan ayat (1) adalah
putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau
penuntutan yang untuk itu dapat dimintakan putusan akhir ke pengadilan tinggi
dalam daerah hukum yang bersangkutan.”
Sedangkan
Pasal 83 ayat (1) KUHAP-nya menyatakan,
“Terhadap
putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80,
dan Pasal 81 tidak dapat dimintakan banding.”
Praperadilan sebagaimana Ketentuan
KUHAP adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus perkara :
- Sah atau
tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa Tersangka;
- Sah atau
tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan
demi tegaknya hukum dan keadilan;
- Permintaan
ganti kerugian atau reahbilitasi oleh tersangka atau keluarga atau pihak lain
atas kuasa yang perkaranya diajukan ke Pengadilan.
Berdasarkan
ketentuan pasal Pasal 83 ayat (1) KUHAP itu Putusan
Praperadilan terkait (1) Sah atau
tidaknya suattu Penangkapan (Pasal 79), (2)Sah
atau tidaknya suatu pengehentian penyidikan atau penuntutan (Pasal 80), dan (3) ganti rugi akibat sah atau tidaknya
penangkapan atau penahanan atau akibat penghentian penyidikan ataun penuntutan
yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan (Pasal 81) tidak dapat dimintakan banding;
Namun Larangan upaya Hukum
banding dalam Praperadilan dikecualikan dalam pasal 83
ayat (2) yaitu untuk putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya Penghentian
Penyidikan atau Penuntutan dapat
dimintakan upaya hukum ke Pengadilan Tinggi. Dari pasal 83 ayat (2) tersebut
memberikan Hak kepada PENYIDIK dan PENUNTUT UMUM upaya hukum ke pengadilan
Tinggi (Banding) atas putusan pengadilan tentang Praperadilan yang menyatakan tidak
sahnya Penghentian Penyidikan atau Penuntutan.
Dengan adanya putusan Mahkamah Konsitusi tersebut diatas yang
menyatakan Pasal 83 ayat (2) tidak
mempunyai kekuatan mengikat/ tidak berlaku lagi berarti penyidik dan penuntut
umum tidak bisa mengajukan upaya hukum atas putusan
pengadilan tentang Praperadilan yang menyatakan tidak sahnya Penghentian
Penyidikan atau Penuntutan.
Dalam tataran teori seharusnya tersangka/terdakwa dan penyidik
serta penuntut umum tersebut harus diperlakukan
sama (equality before the law) namun
Pasal 83 ayat (2) KUHAP tersebut memperlakukan secara
berbeda antara tersangka/terdakwa di satu pihak dan penyidik serta penuntut
umum di pihak lain dalam melakukan upaya hukum banding terhadap putusan
praperadilan. sehinga terdapat dua alternatif untuk menjaga keadilan
bagi para pihak yaitu:
(1)
memberikan hak kepada tersangka/terdakwa untuk mengajukan permohonan banding; atau
(2)
menghapuskan hak penyidik dan penuntut umum untuk mengajukan permohonan
banding.
Menurut
Mahkamah Konstitusi, oleh karena filosofi diadakannya lembaga praperadilan
sebagai peradilan yang cepat, untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap
tersangka/terdakwa dan penyidik serta penuntut umum maka yang dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 adalah pemberian hak banding kepada penyidik dan
penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (2) KUHAP.
Kesimpulan
- Dengan adanya
putusan Mahkamah Konstitusi nomor :65 /PUU/-IX/2011 berarti Putusan Pengadilan
Negeri tenang Praperadilan bersifat pertama dan terakhir, dan tidak dapat
dimintakan upaya hukum ke pengadilan Tinggi;
- Dengan di
batalkannya pasal Pasal 83 ayat (2)
KUHAP baik Pemohon praperadilan ataupun Pemnyidik atau Penuntut umum memiliki
kedudukan yang sama di pengadilan, dan sama-sama tidak memiliki hak untuk
mengajukan upaya hukum;
DAFTAR PUSTAKA :
- Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
- Putusan Mahkamah
Konstitusi nomor :65 /PUU/-IX/2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar