SEKILAS TENTANG GRASI
Oleh : Wasis Priyanto
Grasi
adalah salah satu dari lima hak yang dimiliki kepala negara di bidang yudikatif
yang dijamin oleh konstitusi dan perundang-undangan. Sesuai Undang-undang Dasar
Tahun 1945 dan UU nomor 22 tahun 2002 junto UU no 05 tahun 2010 tentang grasi,
Presiden dalam memberi grasi memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Grasi,
pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk pengampunan yang berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan putusan kepada
terpidana.
Kendati
pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan
kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti menghilangkan
kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap terpidana.
Tata Cara Pengajuan Grasi
Terpidana
mempunyai hak untuk mengajukan Pemohonan grasi, tetapi tidak semua terpidana
yang berhak mengajukan upaya hukum grasi tesebut, Hanya Terpidana yang
mendapatkan hukuman vonis dari Pengadilan yaitu yang berupa Pidana Mati, Pidana
penjara Seumur hidup atau pidana penjara paling rendah selama 2 (dua) tahun dan
permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali;
Hak
mengajukan grasi diberitahukan kepada terpidana oleh hakim atau hakim ketua
sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama. Dalam hal terpidana dijatuhi
pidana mati, permohonan grasi dapat diajukan oleh keluarga terpidana tanpa
persetujuan terpidana. Permohonan grasi dapat diajukan sejak putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Permohonan grasi diajukan secara tertulis oleh
terpidana, kuasa hukumnya, atau keluarganya, kepada Presiden.
Salinan
permohonan grasi disampaikan kepada pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama untuk diteruskan kepada Mahkamah Agung. Dalam jangka waktu
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya salinan
permohonan dan berkas perkara, Mahkamah Agung mengirimkan pertimbangan tertulis
kepada Presiden. Selanjutnya, Presiden memberikan keputusan atas
permohonan grasi setelah memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan
Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi.
Salah
satu dasar pertimbangan pemberian grasi kepada terpidana mati adalah untuk
penegakan hak asasi manusia. Pemberian grasi kepada terpidana mati harus
dilakukan secara tepat untuk tercapainya perlindungan hak asasi manusia
berdasarkan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Demi kepentingan kemanusiaan, dan
demi keadilan Menteri Hukum HAM dapat meminta terpidana atau keluarganya untuk
mengajukan permohonan grasi. Menteri Hukum dan HAM berwenang meneliti dan
melaksanakan proses pengajuan grasi dan menyampaikan permohonan grasi tersebut
kepada Presiden.
Permasalahan dalam pemberian Grasi
Dalam
UU nomor 22 tahun 2002 junto UU no 05 tahun 2010 tentang grasi hanya
menyebutkan jenis hukuman atau pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim kepada
Terdakwa saja yang bisa dijadikan sebagai acuan untuk mengajukan permohonan
grasi. Dalam UU tersebut tidak menyebutkan kualifikasi Tindak pidana apa yang
dapat memperoleh grasi, jadi semua narapidana berhak mengajukan grasi tanpa
melihat tindak pidana apa yang mereka lakukan.
Dan akhir-akhir
ini yang sedang menjadi bahan perdebatan adalah mengenai pemberian grasi oleh
presiden terhadap terpidana hukuman mati pada kasus narkoba.Sebagian pengamat
berpendapat pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba tidak layak
karena kasus narkoba merupakan kejahatan serius. Namun, sebagian yang lain
memandang pemberian grasi kepada terpidana mati kasus narkoba layak diberikan
karena alasan kemanusiaan.
Para
pengamat yang berpendapat pemberian grasi tidak layak diberikan kepada
terpidana mati kasus narkoba memiliki beberapa alasan: Pertama, kejahatan
narkoba merupakan kejahatan serius seperti halnya kejahatan terorisme. Kedua,
keadilan bagi si korban khususnya korban pengguna narkoba menjadi alasan kuat
perlunya hukuman berat bagi pelaku kejahatan narkoba. Ketiga, narkoba dapat
berakibat pada rusaknya generasi muda pengguna narkoba.
Selanjutnya
para pengamat yang berpendapat pemberian grasi layak diberikan kepada terpidana
mati kasus narkoba memiliki beberapa pandangan: Pertama, pemberian grasi tidak
serta merta diberikan pada setiap permohonan grasi. Namun, pemberian grasi
dapat dipertimbangkan dengan melihat latar belakang mengapa terpidana melakukan
tindak pidana yang berakibat pada hukuman mati. Apabila dari segi kemanusiaan
si pemohon grasi tersebut layak untuk diberikan grasi tentu grasi tersebut
dapat diberikan. dan pemberian grasi harus selektif sekali, tidak semua
permohonan grasi oleh narapidana narkotika diberikan, seyogyanya Grasi tidak
diberikan kepada Bandar narkoba.
Kedua,
Pertimbangan pemberian grasi terhadap terpidana mati sejalan dengan upaya
pemerintah dalam mencegah adanya hukuman mati di luar negeri, khususnya
terhadap ancaman hukuman mati yang dialami WNI yang sedang bekerja di luar
negeri. Banyak ancaman hukuman mati dialami oleh WNI karena terpaksa
melakukan kejahatan dengan alasan kemanusiaan.
Pembatalan Grasi, mungkinkah?
Sebuah
kasus menarik yaitu saat Meirika Fanola yang menerima grasi berdasarkan Kepres
Nomor 35/G/2011 yang ditandatangani oleh presiden pada tanggal 26 September
2011 mengubah dari pidana mati menjadi pidana seumur hidup. Namun pemberian
Grasi tersebut tidak membuat Terpidana Meirika fanola insyaf atau sadar, tetapi
yang bersangkutan dari dalam ruang tahanan menjadi gembong pengedar narkotika
juga. (sumber editorial Media Indonesia, Rabutanggal 7 November 2012 ) /
Aksi
Meirika Fanola terungkap saat kurir Nur Aisiyah (NA) tertangkap di Bandara
Husein Sastranegara Bandung yang membawa sabu-sabu dari India yang disimpan
dalam tas punggungnya yaitu seberat 775 gram. Berdasarkan Informasi BNN Jawa
Barat NA direkrut oleh narapidana Meirika Fanola melalui pacarnya yang ada di
dalam tahanan LP tanjung Balai Asahan Sumatra Utara
Ternyata
pemberian grasi terhadap terpidana narkoba tersebut tidak diikuti perubahan
sikap dari Terdakwa untuk memperbaiki dirinya. Terpidana ternyata masih
mengendalikan tranasaksi narkoba. Yang menjadi sebuah pertanyaan adalah Grasi
yang selama ini diberikan ternyata tidak ada artinya dan dianggap salah
sehingga muncul sebuah ide atau gagasan untuk pencabutan terhadap grasi
tersebut.
UU
nomor 22 tahun 2002 junto UU no 05 tahun 2010 tentang grasi tidak ada satu
pasalpun yang mengatur mengenai grasi yang diberikan apakah bisa dicabut atau
tidak. Oleh karena itu berikut ini pendapat dari penulis mengenai grasi bisa
dicabut atau tidak.
Pemberian
grasi oleh presiden dituangkan dalam bentuk kepres. Jika dilihat Kepres sebagai
bentu peraturan perundang-undangan atau sebuah bentuk keputusan Tata Usaha
Negara maka apabila ada sebuah kesalahan dalam aturan atau keputusan Tata usaha
Negara tersebut bisa dicabut.
Namun
apabila Grasi yang dituangkan dalam bentuk Kepres tersebut merupakan suatu
bentuk produk yudikatif tidak bisa di cabut. Kenapa tidak bisa dicabut, oleh
karena dalam bidang yudikatif diharapkan adanya suatu kepastian hukum. Jika
seseorang yang sudah mendapat grasi dan suatu saat dicabut berarti tidak ada
kepastian hukum terhadap status dari narapidana tersebut.
Jika
memang ada perbuatan pidana lain yang dilakukan oleh terpidana maka bukan suatu
alasan untuk mencabut grasi, tetapi perbuatan terpidana tersebut haruslah
diminta pertanggung jawaban melalui proses peradilan selanjutnya.
Demikian
pendapat dari kami kalau ada tanggapan dan pendapat lain mohon saringnya.
Daftar
pustaka :
UU
nomor 22 tahun 2002 junto UU no 05 tahun 2010 tentang grasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar