Yurisprudensi Surat Kuasa


  1. Putusan MA-RI No. 2332.K/Pdt/1985, tanggal 29 Mei 1986 : Direktur suatu Badan Hukum (PT) dapat bertindak langsung mengajukan gugatan dan tidak perlu lebih dulu mendapatkan surat kuasa khusus dari Presiden Direktur dan para pemegang saham, karena PT sebagai Badan hukum dapat langsung mengajukan gugatan diwakili oleh Presiden Direktur (= Dirut).
  2. Putusan MA-RI No. 2884.K/Pdt/1985, tanggal 29 Mei 1986 : Jika ternyata kedudukan yang disandang seseorang adalah lembaga Perwakilan atau Representative menurut Common Law System (Anglo Saxon), hal itu tidak sama pengertian dan bentuk kuasa yang dikenal dalam BW.

    In Casu, ternyata Tergugat adalah Representative dari United Maritim Corp. SA. sehingga dia sepenuhnya dapat digugat sebagai subyek yang bertanggung jawab penuh tanpa kuasa dari induk perusahaan;

  3. Putusan MA-RI No.2539K/Pdt/1985, tanggal 30 Juli 1987 : Ternyata PD Panca Karya adalah Badan Hukum dan menurut PERDA Tk. I Maluku No. 5/1963, Ps. 16 (1) Direksi mewakili Perusahaan Daerah (PD) di dalam dan diluar Pengadilan, dia dapat bertindak sebagai pihak (subyek) tanpa kuasa dari Pemda".

    Istilah pemberian kuasa Khusus tertulis kemudian di informasikan sebagai "Surat Kuasa Khusus" sebagaimana Pasal 123 HIR/147 RBg dan dipertegas lagi dengan SEMA yang menentukan syarat-syarat sahnya surat kuasa khusus tersebut;

  4. Putusan MA-RI No.779.K/Pdt/1992 :

"Tidak diperlukan legalisasi atas surat kuasa khusus dibawah tangan. Tanpa legalisasi surat kuasa khusus di bawah tangan telah memenuhi syarat formil";

  1. Putusan MA-RI No.321.K/Sip/1974, tanggal 19 Agustus 1975 : Tentang Kuasa limpahan (Kuasa Substitusi) Pengoperan pemberian kuasa dari pihak kuasa penjual dengan hanya membuat suatu pernyataan dan bukan berdasarkan surat kuasa Substitusi adalah tidak sah;
  2. Putusan MA-RI No.1060.K/Sip/1972, tanggal 14 Oktober 1975 :

    Meskipun dalam surat kuasa tanggal 3 Agustus 1969 ada kata-kata "Surat Kuasa penuh yang tidak dapat ditarik kembali", pembatalan surat Kuasa tersebut oleh pemberi kuasa dapat dibenarkan menurut hukum, karena hal ini adalah hak daripada pemberi kuasa dan ternyata penerima kuasa telah mengadakan penyimpangan dan pelanggaran terhadap Surat Kuasa;

  3. Putusan MA-RI No.731.K/Sip/1975, 16 Desember 1976 : Ketentuan Pasal 1813 BW, tidak bersifat limitatif dan juga tidak mengikat oleh karena itu jika sifat perjanjian memang menghendaki, dapat ditentukan pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (Kuasa Mutlak) karena pasal-pasal dalam hukum perjanjian bersifat mengatur, vide = Putusan MA-RI No. 3604.K/Pdt/1985, tanggal 17 Nopember 1987;

  4. Putusan MA-RI No. 941.K/1975, tanggal 8 Pebruari 1977 : Karena menurut kenyataan sehari-hari Tergugat bertindak selaku Kepala Cabang PT. Pelayaran Rakyat Indonesia di Ujung Pandang, ia harus dipandang bertanggung jawab di dalam maupun di luar Pengadilan. (Persona Standi In Judicio);
  5. Putusan MA-RI No.601.K/Sip/1975, tanggal 20 April 1977 : Gugatan Penggugat tidak dapat diterima, karena dalam surat gugatan, Tergugat digugat secara pribadi, padahal dalam dalil gugatan, Tergugat digugat secara pribadi, padahal dalam dalil gugatannya (Posita) disebutkan Tergugat sebagai pengurus yayasan yang menjual rumah-rumah milik yayasan, seharusnya Tergugat digugat sebagai Pengurus yayasan;
  6. Putusan MA-RI No.1004.K/Sip/1974, tanggal 27 Oktober 1977 :

    Karena Pemerintah Kelurahan Krajan digugat dalam kedudukannya selaku aparat Pemerintah Pusat, gugatan seharusnya disampaikan kepada Pemerintah RI qq. Depdagri 11. Gubernur Jateng qq. Pemerintah Kelurahan Krajan.

  7. Putusan MA-RI No. 453.K/Sip/1971, tanggal 27 April 1976; Karena dalam surat kuasa sudah disebutkan untuk pemeriksaan dalam tingkat banding kasasi, dan dari berita acara pemeriksaan sidang pertama ternyata bahwa yang bersangkutan hadir sendiri dengan didampingi oleh kuasanya, maka dianggap surat kuasa tersebut juga untuk pemeriksaan tingkat banding dan sudah khusus, meskipun surat kuasa itu tidak dibuat untuk perkara ini, sehingga permohonan banding seharusnya dapat diterima;
  8. Putusan MA-RI No.01.K/Sip/1971, tanggal 13 Nopember 1971 :

    Suatu surat kuasa untuk mengajukan permohonan kasasi yang memuat dua tanggal (dimana tanggal yang satu adalah tanggal 29 Oktober 1970 dan tanggal yang lain adalah tanggal 29 Nopember 1970) dan akta kasasi diajukan tanggal 23 Nopember 1970, harus dikualifikasi (diqualificeer) sebagai suatu surat kuasa yang tidak dapat memberi wewenang kepada pemegang surat kuasa tersebut untuk bertindak atas nama si pemberi kuasa;

  9. Putusan MA-RI No.288.PK/Pdt/1986, tanggal 23 Desember 1987 :

    Baik putusan Pengadilan Tinggi maupun putusan Mahkamah Agung, hanya menilai segi formalnya dari penggunaan upaya hukum yang keliru terhadap putusan verstek oleh Pemohon PK/dahulu PelawanTergugat verstek, maka permohonan PK ditafsirkan ditujukan pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat tanggal 19 Agustus 1982 No. 158/1982 G;

    Karena ternyata Surat Kuasa yang diterima oleh Julian Usman dan H. Nuranini dan Siti Djuriah, masing-masing tanggal 25 Juni 1987 sebagai dasar untuk mengajukan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak menyebutkan obyek perkara, sehingga Surat Kuasa tersebut tidak memenuhi syarat Surat Kuasa Khusus karena tidak menyebut apa yang harus digugat (obyek gugatan), sedang surat-surat kuasa lainnya (bukti P.V s.d. P.VIII) selain tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mengajukan gugatan juga tidak menyebutkan kewenangan penerimaan kuasa untuk mengajukan gugatan dan karenanya gugatan Penggugat harus dinyatakan tidak dapat diterima;

    Pasal 123 HIR, Pasal 67 dst UU No. 14 Th. 1985, Pasal 125 HIR.

  10. Putusan MA-RI No.425.K/Pdt/1984, tanggal 30 September 1985 :

    Sekalipun surat kuasa Penggugat tidak bersifat khusus, karena tidak menyebutkan subyek gugatannya sebagai pihak Tergugat, tetapi karena dalam beberapa kali persidangan Penggugat secara pribadi hadir maka harus dianggap bahwa Penggugat tidak keberatan didampingi oleh kuasanya dengan segala sesuatunya yang berhubungan dengan gugatan perkara itu;

  11. Putusan MA-RI No.359/Pdt/1992, tanggal 10 Maret 1994 :

    Bahwa judec-facti telah salah menerapkan hukum, surat gugatan Tergugat dibuat dan ditandatangani oleh kuasanya tertanggal 3 Desember 1988, dengan demikian pada tanggal 3 Desember 1988 yang bersangkutan belum menjadi kuasa hukumnya, sehingga ia tidak berhak menandatangani surat gugatan tersebut;

  12. Putusan MA-RI No.904.K/Sip/1973, tanggal 29 Oktober 1975 :

    Dalam mempertahankan gono-gini, terhadap orang ketiga, memang benar salah seorang dari suami-isteri dapat bertindak sendiri, tetapi karena perkara ini tidak mengenai gono-gini, suami tidak dapat bertindak selaku kuasa dari istrinya tanpa Surat Kuasa Khusus untuk itu;

  13. Putusan MA-RI No. 668.K/Sip/1974, tanggal 19 Agustus 1975 :

    Keberatan yang diajukan Penggugat untuk kasasi : bahwa Surat Kuasa tanggal 30 April 1972 tidak relevan karena pemberi kuasa (A. Sarwani) selalu hadir dalam sidang-sidang Pengadilan Negeri sampai pada putusan diucapkan; dapat dibenar-kan, karena Surat Kuasa tersebut sudah cukup, karena menyebut : "mengajukan gugatan terhadap BNI-1946 Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan/Barat", dan juga menyebut "naik appel", lagi pula pada persidangan-persidangan Pengadilan Negeri pihak materiele partij juga selalu hadir;

    Oleh Pengadilan Tinggi Surat Kuasa tersebut karena hanya menyebut pihak-pihak yang berperkara saja dan sama sekali tidak menyebut apa yang mereka perkarakan itu, dianggap tidak bersifat khusus, bertentangan dengan Pasal 123 HIR sehingga gugatan dinyatakan tidak dapat diterima;

  14. Putusan MA-RI No.174.K/Sip/1974, tanggal 6 Maret 1975 : Bahwa orang yang dalam pemeriksaan di Pengadilan Negeri di dengar sebagai saksi, di Pengadilan Tinggi bertindak sebagai Kuasa dari Terbanding / Penggugat asal, tidaklah bertentangan dengan HIR;
  15. Putusan MA-RI No.42.K/Sip/1974, tanggal 5 Juni 1975 : Orang yang bertindak sebagai kuasa penjual dalam jual-beli, tidak dapat secara pribadi (tanpa Kuasa Khusus dari penjual) mengajukan gugatan terhadap pembeli, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima);
  16. Putusan MA-RI No.116.K/Sip/1973, tanggal 16 September 1975 Surat Kuasa yang isinya : "Dengan ini kami memberi kuasa kepada Abdul Salam ….guna mengurusi kepentingan kami untuk mengajukan gugatan, bukti-bukti serta saksi-saksi di Pengadilan Negeri Gresik", adalah bukan Surat Kuasa Khusus dan surat gugatan yang ditandatangani dan diajukan oleh Kuasa berdasarkan Surat Kuasa tersebut dinyatakan tidak dapat diterima;
  17. Putusan MA-RI No. 531.K/Sip/1972, tanggal 25 Juli 1974 :

    Surat Kuasa untuk menjaga, mengurus harta benda yang bergerak dan tidak bergerak, tanah-tanah, rumah-rumah, hutang dan semua kepentingan seseorang adalah suatu Surat Kuasa Umum yang bagaimanapun juga tidak dapat dianggap sebagai suatu Surat Kuasa Khusus untuk berperkara di depan Pengadilan;

  18. Putusan MA-RI No.1158.K/Sip/10973, tanggal l13 Januari 1974 :

    Surat Kuasa tanggal 3 Mei 1971 menunjukkan kepada gugatan yang sudah masuk yang sudah jelas-jelas siapa-siapa lawan dalam perkara dan apa saja yang menjadi obyek perselisihan sehingga sudah memenuhi ketentuan Pasal 123 HIR;

  19. Putusan MA-RI No.106.K/Sip/1973, tanggal 11 Juni 1973 : Surat Kuasa yang diketahui dan disahkan oleh Camat bukanlah Surat Kuasa yang dikehendaki oleh Pasal 147 Rbg., maka gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima;
  20. Putusan MA-RI No. 425.K/Pdt/1984, tanggal 30 September 1985 :
  • …………….dst;
  • Mengenai Surat Kuasa yang dimaksud dapat dijelaskan bahwa sebenarnya Surat Kuasa tersebut tidak bersifat khusus, akan tetapi karena Penggugat hadir sendiri didampingi kuasanya maka menjadi jelas/pasti bagi Tergugat bahwa Penggugat benar telah memberi kuasa kepada kuasanya yang dimaksud. Oleh karena itu pula Tergugat tidak mengajukan eksepsi terhadap Surat Kuasa tersebut;
  • Perlu diperhatikan pula bahwa ternyata Pengadilan Negeri dalam prakteknya sering tidak memperhatikan tepat atau tidaknya suatu Surat Kuasa. Seperti halnya dalam perkara ini Pengadilan Negeri sama sekali tidak memper-timbangkan mengenai Surat Kuasa ini;
  1. Putusan MA-RI No.288.PK/Pdt/1986, tanggal 23 Desember 1987 :

    Surat Kuasa Khusus

    1. Tafsiran Majelis Peninjauan Kembali terhadap permohonan peninjauan kembali sehingga dianggap diajukan terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat menurut hemat saya (Prof. Asikin Kusumah Atmadja, SH.) adalah tepat;
    2. Menurut hemat saya masih merupakan suatu pernyataan terbuka – SOR – apakah Surat Kuasa yang keliru karena tidak menyebut apa yang harus digugat, merupakan suatu kekeliruan yang nyata seperti yang dimaksudkan oleh Pasal 67 dst. Undang-undang No. 14 th. 1985.

Yurisprudensi Tentang Syarat-Syarat Gugatan


 


 

  1. Putusan MA-RI No. 840.K/Sip/1975, tanggal 4 Juli 1978: Surat gugatan bukan merupakan Akta Dibawah Tangan, maka surat gugata tidak terikat pada Ketentuan-ketentuan Ps. 286 (2) Rbg. Jo. Stb. 1916-46 jo. Stb. 1919-776;


     

  2. Putusan MA-RI No. 769.K/Sip/1975, tanggal 24 Agustus 1978:

    Gugatan bercap jempol yang tidak dilegalisir, berdasarkan Yurisprudensi bukanlah batal menurut hukum, tetapi selalu dikembalikan untuk dilegalisasi kemudian;


     

  3. Putusan MA-Ri No. 1149.K/Sip/1975, tanggal 17 April 1979; karena surat gugatan tidak disebutkan dengan jelas letak/batas-batas tanah sengketa, gugatan tidak dapat diterima;


     

  4. Putusan MA-RI No. 415.K/Sip/1975, tanggal 27 Juni 1979 : Gugatan yang ditujukan lebih dari seorang Tergugat, yang antara Tergugat-Tergugat itu tidak ada hubungan hukumnya, tidak dapat diadakan dalam satu gugatan, tetapi masing-masing Tergugat harus digugat sendiri-sendiri;


 

  1. Putusan MA-RI N0. 1075.K/Sip/1980 :

    Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan Hukum, karena petitum bertentangan dengan posita gugatan, gugatan tidak dapat diterima;


     

  2. Putusan MA-RI No. 663.K/Sip/1973, tanggal 6 Agustus 1973 : Petitum yang tidak mengenai hal yang menjadi obyek dalam perkara harus ditolak;


     

  3. Putusan MA-RI No. 28.K/Sip/1973, tanggal 5 Nopember 1975 :

    Karena rechtfeiten yang diajukan bertentangan dengan petitum, gugatan harus ditolak;


     

  4. Putusan MA-RI No. 582.K/Sip/1973, tanggal 18 Desember 1975 :

    Karena petitum gugatan adalah tidak jelas, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  5. Putusan MA-RI No. 492.K/Sip/1970, tanggal 21 Nopember 1970 :

    Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa-apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  6. Putusan MA-RI No. 1391.K/Sip/1975, tanggal 26 April 1979 : Karena dari gugatan Penggugat tidak jelas batas-batas dusun sengketa digugat, hanya disebutkan (bertanda II) saja, gugatan tidak dapat diterima;


     

  7. Putusan MA-RI N0. 439.K/Sip/1968, tanggal 8 Januari 1969 : Tentang tuntutan pengembalian barang/harta warisan dari tangan pihak ketiga kepada para ahli waris yang berhak, tidak perlu diajukan oleh semua ahli waris;


     

  8. Putusan MA-RI No. 6.K/Sip/1973, tanggal 21 Agustus 1973; Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal ini karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas;


     

  9. Putusan MA-RI No. 995.K/Sip/1975, tanggal 8 Agustus 1973 : Bahwa Terbanding semula Penggugat sebagai seorang Debitor hanya sekedar mempunyai kewajiban-kewajiban ialah kewajiban untuk melunasi hutangnya dan tidak mempunyai hak terhadap Kreditornya, sedangkan bagi pengajuan gugat haruslan ada sesuatu hak yang dilanggar oleh orang lain, untuk dapat menarik yang bersangkutan sebagai Tergugat dalam suatu proses peradilan;


     

  1. Putusan MA-RI No. 1360.K/Sip/1979, tanggal 17 Juni 1976 : Pengadilan Tinggi telah terlalu formal dengan menyatakan gugatan tidak dapat diterima, hanya karena Penggugat minta supaya tanah terperkara disahkan menjadi hak "miliknya", sedangkan Penggugat mendasarkan gugatannya pada Hak Guna Usaha (HGU);

    -    Karena walaupun petitum menyebut milik, tetapi yang dimaksud adalah tanah dalam Hak Guna Usaha;


     

  2. Putusan MA-RI No. 4.K./Sip/1958, tanggal 13 Desember 1958;

    Syarat materiil daripada Gugatan. Syarat Mutlak untuk menuntut seseorang di depan Pengadilan adalah adanya perselisihan hukum antara kedua pihak;


     

  3. Putusan MA-RI No. 763.K/Sip/1977, tanggal 10 Mei 1979; Gugatan terhadap pihak yang memegang barang sengketa berdasarkan suatu putusan Pengadilan yang telah dieksekusi berdasarkan suatu putusan Pengadilan yang telah dieksekusi dapat saja diterima dan dipandang sebagai suatu perkara baru;


 

  1. Putusan MA-RI No. 1699.K/Sip/1975, tanggal 10 April 1979; Permohonan keadilan (oleh Penggugat) sebagai Petitum Subsidair dianggap secara hukum diajukan pula, dan mengabulkan hal-hal yang tidak diminta juga dibenarkan, asal tidak melampaui batas-batas dan Posita;


     

  2. Putusan MA-RI No.252.K/Sip/1962, tanggal 25 April 1962; Isi Surat Gugatan dalam hal harta warisan untuk sebagian sudah dibagi-bagi, untuk menggugatkan pembagian daripada sisa warisan itu tidaklah mutlak harus dimasukkan di dalam gugatan rincian mengenai barang-barang yang telah dibagi, karena hal itu Hakim selalu dapat menyeledikinya dalam mengadakan pembagian yang seadil-adilnya atas sisa warisan itu;


     

  3. Putusan MA-RI No.565.K/Sip/1973, tanggal 21 Agustus 1974;

    Isi Surat Gugatan. Gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima karena dasar gugatan tidak sempurna, dalam hal ini karena hak Penggugat atas tanah sengketa tidak jelas;


     

  4. Putusan MA-RI No.195.K/Sip/1955, tanggal 28 Nopember 1956'

    Walaupun gugat lisan yang dibuat oleh Ketua Pengadilan Negeri tidak lengkap, tetapi dengan adanya tuntutan Subsidair : Mohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengambil putusan yang dianggap adil olehnya, dan sesuai dengan Hukum Adat, Pengadilan selayaknya memberi putusan yang seadil-adilnya, dengan menyelesaikan sengketa perdata untuk seluruhnya;


     

  5. Putusan MA-RI No.616.K/Sip/1973, tanggal 5 Juni 1973 : Karena Penggugat tidak memberikan dasar dan alasan pada gugatannya itu, ialah ia tidak menjelaskan berapa hasil sawah-sawah tersebut sehingga ia menuntut hasil sebanyak 10 gunca setahun (tidak dirinci, sehingga tidak jelas), gugatan haruslah ditolak;


     

  6. Putusan MA-RI No.1343.K/Sip/1975, tanggal 15 Mei 1979 : Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima, oleh karena (gugatan tersebut) tidak memenuhi persyaratan formal, gugatan masih dapat diajukan lagi;


     

  7. Putusan MA-RI No.689.K/Sip/1974, tanggal 2 Nopember 1976 :

    Dalam perkara ini ganti rugi tidak dapat diberikan karena dengan dituntut; soal ganti rugi tersebut dapt dituntut kemudian dengan perkara lain;


     

  8. Putusan MA-RI No.1001.K/Sip/1972, tanggal 17 Januari 1973 :

    Dalam diktum (amar) putusan, Hakim dilarang untuk mengabulkan hal-hal yang tidak dituntut atau yang melebihi daripada yang diminta Penggugat;


     

  9. Putusan MA-RI No.77.K/Sip/1973, tanggal 19 September 1973 :

    Karena dalam Petitum tidak dituntut ganti rugi, putusan Pengadilan Tinggi yang mengharuskan Tergugat mengganti kerugian harus dibatalkan;


     

  10. Putusan MA-RI No.372.K/Sip/1970, tanggal 1 September 1971 :

    Putusan Pengadilan yang didasarkan atas pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan, haruslah dibatalkan;


     

  11. Putusan MA-RI No.339.K/Sip/1969 :

    Putusan yang menyimpang dari isi tuntutan, baik karena meliputi hanya sebagian, harus dibatalkan;


     

  12. Putusan MA-RI No.1375.K/Sip/1975, tanggal 27 Nopember 1976 :

    Oleh karena tuntutan ganti rugi uang didalilkan oleh Penggugat dan ada dalam petitum gugatan, tidak diperiksa dan diputus oleh judex-facti, maka kepada Pengadilan Negeri perlu diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan tambahan perihal tersebut;


     

  13. Putusan MA-RI No.76.K/Sip/1957, tanggal 19 Pebruari 1958 :

    Untuk menerima gugatan supaya suatu tambak dikosongkan berdasar atas tidak sahnya pembelian tambak itu oleh Penggugat, tidaklah perlu dalam gugatan diminta pembatalan jual-beli tambak itu dan tidak perlu pula untuk turut menggugat si penjual dari tambak itu;


     

  14. Putusan MA-RI No. 19.K/Sip/1983, tanggal 31 Oktober 1983 : Karena gugatan ganti rugi tidak dirinci, lagi pula belum diperiksan oleh judex-facti, gugatan ganti rugi tersebut dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  15. Putusan MA-RI No. 492.K/Sip/1970, tanggal 21 Nopember 1970 :

    Gugatan yang tidak sempurna, karena tidak menyebutkan dengan jelas apa yang dituntut, harus dinyatakan tidak dapat diterima, seperti halnya dalam perkara ini dituntutkan :

    -    agar dinyatakan sah semua keputusan Menteri Perhubungan Laut, tetapi tidak disebutkan peraturan-peraturan yang mana;

    -    agar dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum sejak perbuatan Tergugat terhadap Penggugat dengan tidak menyebutkan perbuatan yang mana;

    -    agar dihukum membayar ganti-rugi sebesar Rp 1.000.000,- tanpa merinci untuk kerugian-kerugian apa saja;


     

  16. Putusan MA-RI No.81.K/Sip/1971, tanggal 9 Juli 1975 : Karena setelah diadakan Pemeriksaan Setempat oleh Pengadilan Negeri atas perintah Mahkamah Agung, tanah yang dikuasai Tergugat ternyata tidak sama batas-batas dan luasnya dengan yang tercantum dalam gugatan, gugatan harus dinyatakan tidak dapat diterima;


     

  17. Putusan MA-RI No. 1380.K/Sip/1973, tanggal 11 Nopember 1975 :

    Putusan penggugat yang berbunyi : "Menghukum Tergugat supaya tidak mengambil tindakan yang bersifat merusakkan bangunan-bangunan tersebut" tidak dapat dikabulkan, sebab bersifat negatif.

ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN

Ada 7 (tujuh) asas hukum perjanjian yang merupakan asas-asas umum yang harusb diindahkan oleh setiap pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu :

  1. Asas sistem terbukanya hukum perjanjian, Artinya ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang termuat dalam Buku III BW merupakan kaidah pelengkap yang boleh tidak diindahkan oleh para pihak yang membuat perjanjian. Sejauh mana dibolehkan penyimpangan itu, berkaitan dengan asas-asas yang lain.
  2. Asas Konsensualitas, artinya sejak detik tercapainya Konsensus atau Kesepakatan antara kedua belah pihak, sejak itulah timbulnya suatu perjanjian.
  3. Asas Personalitas, Artinya tidak seorangpun dapat mengadakan perjanjian, kecuali untuk dirinya sendiri.
  4. Asas itikad baik ( in good faith, tegoeder trouw, de bonne foi). Pengertian itikad baik mempunyai dua arti :
    1. Arti yang Objectif : bahwa perjanjian yang dibuat itu harus dilaksanakan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan damn kesusilaan. Konsekuensinya disini, hakim dapat melakukan intervensi terhadap isi perjanjian yang telah dibuat para pihak yang bersangkutan.
    2. Arti yang Subjectif, yaitu pengertian itikad baik yang terletak dalam sikap batin seseorang
  5. Asas pacta sunt servanda, yaitu semua perjanjianyang dibuat secara sah adalah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.
  6. Asas force majeur
    atau asas keadaan memaksa, dimana debitur di bebaskan dari kewajiban untuk membayar ganti rugi akibat tidak terlaksananya perjanjian karena sesuatu sebab yang memaksa. Keadaan yang memaksa itu adalah keadaan dimana debitur memang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yabng timbul di luar dugaan tadi.
  7. Asas exception non adimpleti contractus. Merupakan pembelaan bagi debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi akibat tidak dipenuhinya perjanjian, dengan alas an kreditur pun lali. Asas ini terutama berlaku di dalam perjanjian timbal balik.


     

(SUMBER. Prof. DR. ACHMAD ALI, SH, MH, Menguak Tabir Hukum (sutau kajian filosofis dan Sosiologis,) Gunung Agung Jakarta, 2002 Halaman 248.

KETENTUAN DAN PELAKSANAAN PIDANA DENDA

DI INDONESIA

Oleh : Wasis Priyanto

Ditulis saat bertugas di PN Muara Bulain

Pidana Denda adalah sebuah hukuman. Hal ini mengimplikasikan bahwa terpidana wajib membayar sejumlah uang yang di tetapkan dalam Putusan Pengadilan yang te;ah berkekuatan hukum tetap.

Sistem pidana baru diperkenalkan oleh Negara-negera skandinavia (finlandia dan Swedia), yang kemudian diikuti oleh Jerman, Austria, Perancis dan Portugal yang disebut denda harian (day fine). Maksud denda harian (day fine) adalah penjatuhan pidana denda berdasarkan kepada kemampuan keuangan orang perhari. Tentunya pandapatannya perhari dikurangi dengan utang-utangnya. Jadi pada delik yang sama dipidana denda tidak sama karena didasarkan pada kemampuan keuangan si pelanggar. Jumlahnya besarnya denda maksimum dan minimum juga sudah ditentukan.

Di Swedia satu hari maximum 1.000 crown sedangkan minimum sebesar 10 crown. Dan minimal 1 hari dan maximal selama 6 bulan. Di Jerman hanya yang di jatuhi pidana 3 bulan atau kurang yang diganti dengan pidana denda harian. Di Perancis hanya delik-delik ringan yang dikenakan denda harian. Yunani bahkan menganut aliran yang menentukan bahwa semua pidana penjara yang tidak lebih dari 6 bulan dikonversi menjadi pidana denda harian. Bahkan Pengadilan Yunani dapat mengenakan denda harian sampai pada pidana penjara 18 Bulan jika dipandang cukup memadahi menerapkan pidana denda harian untuk membuat jera pelanggar untuk melakukan delik berikutnya.

Di Belanda besarnya penetapan pidana denda dibagi menjadi 6 (enam) kategori, yaitu : kesatu, 500 (lima ratus) guilder kedua, 5.000 (lima ribu) guilder ketiga, 10.000 (sepuluh ribu) guilder keempat 25.000 (dua puluh lima ribu) guilder kelima 100.000 (seratus ribu) guilder dan keenam 1.000.000 (satu juta) guilder.

Penerapan pidana di Indonesia denda paling sedikit 25 sen (Pasal 30 ayat 1 KUHP) sedangkan besarnya pidana denda maksimum tergantung pada rumusan ketentuan pidana dalalm KUHP, misalnya pasal 403 maksimum Rp. 10.000. Dalam pasal 30 Ayat (2) KUHP ditentukan bahwa apabila denda tidak dibayar diganti dengan hukuman kurungan, dimana lamanya hukuman kurungan pengganti paling sedikit 1 hari paling lama 6 bulan. Dalam keadaan memberatkan yaitu karena perbarengan atau pengulangan atau perberatan karena jabatan atau bendera kebangsaan, kurungan pengganti dapat ditambah paling lama menjadi 8 bulan (Vide Pasal 30 ayat 5, 6 KUHP)Pidana denda kebanyakan di jatuhkan pada pelanggaran sedangkan pada kejahatan dijadikan alternatif (misalnya kata-kata 'atau')

Untuk Pidana denda dapat dibayarkan oleh orang lain, sedangkan pidana lainnya seperti Pidana Penjara tidak bias diganti orang lain. Hakim tidak boleh mentetapkan, bahwa hukuman kurungan pengganti hukuman denda itu harus dilaksananakan, jika terhukum tidak membayar sendiri denda tersebut. (vide H.R 5 maret 1906, W 8345: 21 Januari 1907,8942.)

Berdasarkan ketentuan
(Pasal 30 ayat 2 KUHP) Pelaksanaan pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan maka sering dalam putusan hakim membuat pidana alternatif selain kurungan juga ada pidana kurungan pengganti. Dalam hal ini terpidana bebas memilihnya apakah harus membayar denda atau menjalani pidana kurungan.

Pidana denda   perlu adanya jaminan  penggantinya di karenakan dalam pelaksanaan pidana denda tidak dapat dijalankan denagan paksaan secara langsung seperti penyitaan atas barang-barang terpidana. Ini berbeda dengan perkara perdata yg dilakukan pelelangan setelah disita pengadilan dan juga pidana Penjatuhan uang pengganti dalam perkara korupsi yang mana Jaksa bisa melakukan penyitaan terhadap harta dari terdakwa.

Pembayaran denda dilakukan paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap terpidana harus mebayar denda tsb kecuali terhadap perkara-perkara dengan pemeriksaan acara cepat harus seketika dilunasi (misalnya perkara lalu-lintas). Pidana denda dibayarkan kepada kejaksaan yang menerima harus segera di setor ke kas negara.

Perkembangan kedudukan Pidana Denda

Pidana denda yang merupakan salah satu jenis pidana pokok yang berdiri sendiri sebagaimana dalam ketentuan dalam pasal 10 KUHP. Namun dalam ketentuan pidana dalam beberapa ketetuan Pidana diluar KUHP, penjatuhan pidana denda bersama-sama dengan pidana pokok yang lain atau dikenal dengan istilah Stesel Pidana Komulatif. Dalam Stesel komulatif tersebut terdakwa selain di jatuhi 2 Pidana pokok dapat dijatuhkan secara bersama-sama. Misalnya : dalam perkara illegal logging, undang-undang perlindungan anak, terdakwa selain dijatuhi pidana penjara dan juga Pidana Denda;

Dalam stesel komulatif, penjatuhan pidana denda pun tetap menacu kepada ketentuan KUHP, yaitu besarnya denda yang dijatuhkan tetap di alternatifkan dengan pidana kurungan sebagai pidana pengganti. Dan lamanya pidana pengganti maksimal pidana kurungan adalah selama 6 (enam) bulan.

Namun perkembanan terakhir stesel komulaitif tetap dipertahankan namun alternative pidana pengganti bukan lagi pidana kurungan, namun pidana penjara. Sebagai contoh dalam UU nomor 35 tahun 1999 tentang Narkotika dalam pasal 148 disebutkan "apabila putusan pidana denda sebagaimana diatur dalam undang-undang ini tidak dapat dibayar oleh Pelaku tindak pidana Narkotika dan tindak pidana Prekursor Narkotika, pelaku dijatuhi pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun sebagai pengganti pidana denda yang tidak dapat dibayar"

Bandingkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban Pasal 43 ayat (1) disebutkan
"Dalam hal terpidana tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 41, dan Pasal 42 pidana denda tersebut diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun."

Daricontoh diatas kedudukan Pidana denda sudah mengalami perubahan, pada Perkara Narkotika sudah di tentukan alternative pidana penjara, sedangkan dal;am perlindungan saksi dan korban, alternatif pidana penjara sudah ada batas minimumnya, yaitu 1 tahun;


 

DAFTAR PUSTAKA

Dwija Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Reflika Aditama, Bandung, 2006;

Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2001

Jan Remmelink, Hukum Pidana, komentar atas pasal-pasal terpenting dari kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2003;

PAF LAMINTANG dan C DJISMAN SAMOSIR, Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1985;

CARA MEMBUAT SURAT KUASA

SURAT KUASA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat tugas Di Pengadilan Negeri Ungaran KabSemarang Penggunaan surat kuasa saat in...