USAHA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

USAHA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

Oleh : Wasis Priyanto


 

Sebagai Bahan materi Diklat Prajabatan Gol I, II dan III Angkatan II Dilingkungan Pemerintah Kab Batang Hari tahun 2011 pada Tanggal 07 dan 12 April 2011,di Wisma PKK Muara Bulian.


 

Pengertian Korupsi

Korupsi apabila dilihat dari kata "Corruptio", yang berasal dari kata Latin "Corrumpore" menjadi bahasa Inggris: Corruption,Corrupt; bhs Belanda "Corruptie" yang diarti secara harfiah sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Korupsi adalah meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktivitas-aktivitas pemerintahan atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya, seperti penyogokan.
Dalam Pratiknya Korupsi lebih dikenal dengan tindakan menerima uang atau materi yang ada hubunganya dengan jabatan seseorang, baik dalam pemerintahan maupun organisasi non pemerintahan tanpa pembukuan dan administrasi yang jelas,

Menurut Baharudin Lopa seperti dikutip Evi Hartanti,
korupsi mencakup berbagai bidang, yakni masalah penyuapan, manipulasi di bidang ekonomi, dan bidang kepentingan umum. Hal itu antara lain ditandai dengan manipulasi keputusan keuangan yang membahayakan perekonomian, kesalahan ketetapan oleh pejabat yeng menyangkut bidang perekonomian umum, pembayaran terselebung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang. Ia juga menguraikan bentuk korupsi lain, yang diistilahkan korupsi politik seperti korupsi pada pemilihan umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan.

Selanjutnya, David M. Chalmers seprti dikutip Baharudin Lopa menjelaskan bahwa :

"Korupsi antara lain dapat ditemukan pada adanya manipulasi dan keputusan mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian (finacial manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled corrupt), kesalahan ketetapan oleh pejabat yeng menyangkut bidang perekonomian umum (the term is often applied also to misjudgements by officials in the public economies), pembayaran terselebung dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa pembayaran uang (disguised payment in the form of gifts, legal fees, employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of money, is usually considered corrupt). Ia juga menguraikan bentuk korupsi lain, yang diistilahkan korupsi politik seperti korupsi pada pemilihan umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administasi, atau keputusan yang menyangkut pemerintahan. (electoral corruption includes purchase of vote with money, promises of office or special special favors, coercion, intimadation, and interference with administrative of judicial decision, or government appointment).


 

Pengertian mengenai korupsi di atas akan lebih mudah dipahami apabila kita mengetahui ciri-ciri dari korupsi. Ciri-ciri dari korupsi dimaksud antara lain dijelaskan oleh Shed Husein Alatas seperti dikutip Evi Hartanti sebagai berikut:

  1. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam pengertian penggelepan. (fraud).
  2. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
  3. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
  4. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha untuk meyelebungi perbuatannya dengan berlindung dibalik pembenaran hukum.
  5. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
  6. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan oleh badan publik atau umum (masyarakat).
  7. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.


     

Sementara itu, apabila dikelompokkan berdasarkan sifatnya, Baharuddin Lopa mengemukakan korupsi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yakni:

  1. Korupsi yang Bermotif Terselebung

    Yakni korupsi yang secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.

  2. Korupsi yang Bermotif Ganda

    Yaitu seorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain, yakni kepentingan politik.


     

Pendapat mengenai bentuk dan jenis korupsi, juga dikemukakan oleh J. Soewartojo sepertio dikutip Evi Hartanti, sebagai berikut:

  1. Pungutan liar tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.
  2. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalm pemberian ijin-ijin, kenaikan pangkat, pungutan terhapap uang perjalanan, pungli pada pos-pos pencegatan dijalan, pelabuhan dan sebagainya.
  3. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda, yaitu pungutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan daerah, tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.
  4. Penyuapan, yaitu seorang pengusaha menawarkan uang atau jasa lain kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
  5. Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut pembayaran uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas yang diberikan.
  6. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya dan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
  7. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga dapat atau berhak bila dilakukan secara adil.


 

Berdasarkan pendapat para ahli hukum pidana tersebut di atas, kiranya dapat ditarik pengertian bahwa korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara negara yang dilakukan secara bersama-sama dan berakibat pada timbulnya kerugian negara dan atau kerugian pada perekonomian negara.

Perkembangan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi

Upaya-upaya pemberantasan korupsi sebenarnya telah dilakukan jauh sejak masa kemerdekaan Republik Indonesia. Sebagai awalnya korupsi dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP. Seiring perkembangan jaman dan meningkatnya perbutan korupsi di Indonesia, akibatnya pun semakin terasa luas, maka permerintah indonesia mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam rangka memberantas kegiatan korupsi. Tidak kurang 10 (sepuluh) peraturan perundang-undnagan telah dikeluarkan sejak tahun 1957 sampai dengan sekarang, yaitu :

  1. Peraturan Penguasa Militer AD No.Prt/PM-06/1957, tanggal 09 April 1957 tentang Pemberantasan korupsi.
  2. Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM-08/1957, tanggal 27 mei 1957 tentang Pemilikan Harta Benda.
  3. Peraturan Penguasa Militer No.Prt/PM-011/1957, tanggal 01 juli 1957 tentang wewenang Penguasa Militer Menyita Barang-Barang.
  4. Pengaturan Penguasa Perang Pusat No.Prt/Paperpu/013/1957, tanggal 16 April 1957 tentang penuntutan, pemeriksaan pidana korupsi dan Pemilikan Harta Benda.
  5. Peraturan Penguasa Perang Pusat AL No.Prt/Paperpu/2.1/I/7/1958 tanggal 7 April 1958 tentang penuntutan, pemeriksaan pidana korupsi dan Pemilikan Harta Benda.
  6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang no 24/1960 (LN no 72/1960tanggal 07 Juni 1960 tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan Tindak pidana Korupsi. Melalui UU no 1tahun 1961, Perpu tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang nomor 24 tahun 1960 sejak 11 Januari 1961.
  7. Surat Keputusan Presiden RI no 243/1967 Tentang Pembentukan Team Pemberantas korupsi.
  8. Undang-Undang no 3 tahun 1971 tanggal 29 maret 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
  9. Undang-Undang no 31 tahun 1999 tanggal 16 Agustus 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.
  10. Undang-Undang no 20 tahun 2001 tanggal 21 Nopember 2001 tentang perubahan Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.

Disamping itu dalam perkambangannya banyak dikeluarkan peraturan-peraturan yang menunjang gerakan pemberantasan korupsi. Antara lain adanya UU no 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan pemerintah yang bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) ataupun Undang-undang tentang persaingan usaha sehat dan anti monopoli.

Seiring perkembangan kebutuhan hukum dan aspirasi masyrakat, menghendaki penegakan di bidang hukum semakin ditingkatkan sehingga tercapai pemerintah yang baik dan bersih. Pada masa sekarang, korupsi tidak hanya dianggap sebagai maslah suatu negara. Tetapi sudah menjadi maslah transnasional atau lintas batas teritorial. Disamping itu korupsi merupakan "core crime", yaitu kejahatan yang merupakan tindak pidana pokok yang berkaitan dengan tindak pidana lain. Hal inilah yang kemudoian menjadi salah satu faktor pendorong disusun dan dikeluarkannya Undang-Undang tindak pidan korupsi yang baru yaitu Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi.

  1. Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi

Rumusan tindak pidana korupsi dalam undang-undang ini menganut delik formal. Penekannya dalam rumusannya terletak pada perbuatan korupsinya, bukan pada akibat yang ditimbulkan. Bila dengan perbuatan tersebut ternyata dan terbukti, maka kerugian negara sebagai akibat bukan lagi syarat rumusan delik tersebutnya. Maksudnya, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap dapat diajukan kepengadilan dan dapat pidana.

Beberapa hal yang merupakan perkembangan baru dalam Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi adalah sebagai berikut :

  1. Korporasi merupakan subyek tindak pidana sehingga dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalam undang-undang no 3 tahun 1971, yang menentukan manusia secara pribadi sebagai subyek tindak pidana.
  2. Memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan undang-undang sebelumnya yaitu menentukan ancaman pidana maximum dan ancaman pidana minimum termasuk juga memuat rincian ancaman pidana terhadap pasal-pasal yang dilanggar.
  3. Dimungkinnya dibentuk tim penyidik gabungan (joint investigation team) dalam kasus-kasus yang ditangani polri yangbersifat kompleks.
  4. Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi polisi, jaksa dan hakim sesuai tingkat pemeriksaannya dapat langsung minta keterangan tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank melalui Gubernur BI.
  5. Adanya penerapa pembuktian terbalik yang bersifat terbatas terhadap perbuatan tertentu dan juga dalam hal perampasan hasil korupsi, meskipun demikian jaksa tetap harus membuktikan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka (sistem pembuktian terbalik berimbang).
  6. Memberikan kesempatan pada masyarakat untuk berperan dalam ya membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
  7. Adanya upaya gugatan perdata, apabila :
    1. Satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti sedangkan kerugian negara telah nyata ada (pasal 32).
    2. Tersangka meninggal dunia pada saat penyidikan dan kerugian keuangan negara telah nyata ada( pasal 33).
    3. Tersangka meninggal dunia pada saat pemeriksaam disidang pengadilan dan kerugian keuangan negara telah nyata ada( pasal 34).
  1. Undang-Undang no 20 tahun 2001 tentang perubahan Undang-Undang no 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 yaitu bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara. Tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial adan ekonomi masyarakat secara luas. Diperlukan upaya pemberantasan yang juga luar biasa. Selain itu untuk menjamin kepastian hukum, menghindari keaneka ragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sehingga perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang no 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang no 20 tahun 2001 terdapat perubahan dan juga penambahan yang berjumlah 5 (lima) buah, yaitu :

  1. Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat barang bukti yang sah, yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti yang lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (elektronik data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, gambar, peta, foto, huruf, tanda angka atau perforasi yang memiliki makna (pasal 26 A)
  2. Ketentuan pembuktian terbalik ditambah, yaitu sebagai ketentuan yang bersifat Premiun remidium dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 angka (2), pasal 12 B, pasal 12 C, pasal 37 A.
  3. Pembuktian Terbalik juga diberlakukan pada tindak pidana baru Gratifikasi dan trerhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana yang disebut dalam pasal 2, 3, 4, 13, 14, 15 dan 16 Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 dan pasal 5-12 UU ini.
  4. Hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disebunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Gugatan perdata dilakukan terhadap terdakwa atau ahli warisnya, untuk itu negara dapat menunjuk kuasanya menjadi wakilnya.
  5. Pengaturan tentang maksimum pidana penjara dan denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5 juta. Tujuannya untuk menghilangkan rasa kurang adil bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya relatif kecil (pasal 12 A).

Semua peraturan tentang tindak pidana korupsi yang ada, semuanya mempunyai 2 tujuan yaitu pertama menghukum pelaku tindak pidana korupsi dan kedua berusaha untuk mengembalikan kerugian negara atas tindak pidana korupsi tersebut. Prof. Romli Atmasasmita menyatakan bahwa menilik sistem pemidanaan yang dianut UU korupsi, baik yang lama maupun yang baru, setiap orang memang sudah sepatutnya takut untuk melakukan korupsi. Bagaimana tidak, begitu seseorang masuk dalam dakwaan korupsi maka mau tidak mau Pelaku atau Terdakwa harus berhadapan dengan sanksi pidana yang berlapis-lapis. Prof. Andi Hamzah menyebutkan bahwa apabila orang membaca Undang-Undang pemberantasan Tindak pidana korupsi, baik no 3 tahun1971 maupun UU no 31 tahun 1999 jo UU no 20 tahun 2001 anacaman pidananya sungguh mengerikan. Dalam undang-undang pertama semua jenis korupsi yang ringan, sedang, berat ancaman pidananya penjara seumur hidup, bahkan hukuman mati. Selain itu di UU korupsi masih ada lagi ditambah dengan pidana tambahan diluar KUHP.

Sanksi atau hukuman pelaku tindak pidana korupsi tercermin dari putusan pidana yang dapat berupa pidana pokok yaitu pidana penjara dan denda. Kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi ini diusahakan dipulihkan melalui penjatuhan pidana tambahan yang berupa pembayaraan uang pengganti.

Pengelompokkan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Menurut UU.NO.31/1999 Jo UU NO. 20/2001

  1. Tipikor yg berkaitan dgn kerugian Negara

Tindak pidana yang berkaitan dengan Kerugian Negara tercantum dalam pasal 2 dan pasal 3.

Dalam pasal 2 ayat (1) disebutkan sebagai berikut :

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).


 

Sedangkan Dalam pasal 3 disebutkan sebagai berikut :

Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).


 

  1. Tipikor yg berkaitan dgn penyuapan

    Pasal 5 ayat (1)

    Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

    a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

    b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.


     

    Pasal 5 ayat (2)

    Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).\


 

Pasal 6 ayat (1)


 

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau

b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.


 

Pasal 6 ayat (2)


 

Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


 

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.


 

Pengertian janji dlm Yurisprudensi Put..MARI No.: 127K/Kr/1960 12 Sept 1961,pasal 418 KUHP (yg diambil alih pasal 11 uu ini): harus ditnjau dari 2 Sudut (si penerima dan si pemberi);

Pasal 12

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):

a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;

c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;

d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;

e

Pasal 12 B

(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara ianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:

a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;

b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Pasal 12 C

(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.

(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.


 

Pasal 13

Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).


 

  1. Tipikor yg berkaitan dgn penggelapan

Pasal 8

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).


 

Pasal 8 , unsur-unsur:1. pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yg ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu;2. dengan sengaja;3. menggelapkan uang atau surat berharga karena jabatannya, atau membiarkan uang ataua surat berharga diambil atau digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan dalam perbuatan tsb. Dalam Pasal 8 ini memuat unsur-unsur alternatif, yaitu terdakwa berbuat sendiri menggelapkan atau terdakwa membiarkan oreang lain menggelapkan atau membantu orang lain melakukan penggelapan tsb. Rumusan pasal 8 ini identik pasal 415 KUHP yg memuat unsur-unsur alternatif, perlu dicermati put.MARI No.77K/Kr/1973 19 Nop 1974: terdakwa dipersalahkaan melakukan korupsi c.q.penggelapan walaupun ia tidak melakukannya sendiri secara laungsung melainkan sengaja membiarkan orang lain.


 

Pasal 9

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).


 

Pasal 10

Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).


 

  1. Tipikor yg berkaitan dgn permintaan paksa atau pemerasan jabatan

Pasal 12 huruf e, f , g h

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):….

a….dst

e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;

f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;

h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundangundangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundangundangan;


 

  1. Tipikor yg berkaitan dgn pemborongan, leveransir dan rekanan

    Pasal 7 ayat (1), terdiri huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d. dan pasal 7 ayat (2) uu no 20/2001

    (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):

    a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;

    b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;

    c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau

    d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.

    (2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


     

Pasal 12 huruf i

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):….

a….

b…..dst

i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.


 

  1. Tindak pidana yg berkaitan dgn tipikor

Pasal 21, 22,23 dan pasal 24

Pasal 21

Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


 

Pasal 22

Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atau Pasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).


 

Pasal 23

Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 421, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 Kitab Undangundang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


 

Pasal 24

Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp 150.000.000,000 (seratus lima puluh juta rupiah).


 


 


 

Peranan KPK dalam pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Untuk pemberantasan korupsi sebenarnya ada lembaga yang bisa melakukan penyidikan yaitu Polisi dan Kejaksaan,. berasarkan konsideran huruf b UU no 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi dan sebagaimana amanat pasal 43 UU no.31/Jo UU no. 20/2001 perlu dibentuk KPK yg independen dgn tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tipikor.

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun engan tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi.

Tugas KPK sebagaimana pasal 6 UU nomor 20 tahun 2002 yaitu sebagai berikut ;

  1. koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  2. supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
  3. melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi;
  4. melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan elakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara.

Dalam melaksanakan tugas koordinasi Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki kewenangan mengkoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi, menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi kepada instansi yang terkait, melaksanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi; dan meminta laporan instansi terkait mengenai pencegahan tindak pidana korupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang dalam melaksanakan pelayanan publik. Sehingga KPK berwenang juga mengambil alih penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;

c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;

d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;

e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang :

  1. melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
  2. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
  3. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang :

  1. melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
  2. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
  3. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;
  4. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
  5. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
  6. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
  7. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;
  8. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;
  9. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.

Dalam melaksanakan tugas pencegahan s Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melaksanakan langkah atau upaya pencegahan sebagai berikut :

  1. melakukan pendaftaran dan pemeriksaan terhadap laporan harta kekayaan penyelenggara negara;
  2. menerima laporan dan menetapkan status gratifikasi;
  3. menyelenggarakan program pendidikan antikorupsi pada setiap jenjang pendidikan;
  4. merancang dan mendorong terlaksananya program sosialisasi pemberantasan tindak pidana korupsi;
  5. melakukan kampanye antikorupsi kepada masyarakat umum;
  6. melakukan kerja sama bilateral atau multilateral dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Dalam melaksanakan tugas monitor Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang:

  1. melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan administrasi di semua lembaga negara dan pemerintah;
  2. memberi saran kepada pimpinan lembaga negara dan pemerintah untuk melakukan perubahan jika berdasarkan hasil pengkajian, sistem pengelolaan administrasi tersebut berpotensi korupsi;
  3. melaporkan kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan, jika saran Komisi Pemberantasan Korupsi mengenai usulan perubahan tersebut tidak diindahkan.
    Komisi Pemberantasan Korupsi berkewajiban :
  4. memberikan perlindungan terhadap saksi atau pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi;
  5. memberikan informasi kepada masyarakat yang memerlukan atau memberikan bantuan untuk memperoleh data lain yang berkaitan dengan hasil penuntutan tindak pidana korupsi yang ditanganinya;
  6. menyusun laporan tahunan dan menyampaikannya kepada Presiden Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan Badan Pemeriksa Keuangan;
  7. menegakkan sumpah jabatan;
  8. menjalankan tugas, tanggung jawab, dan wewenangnya berdasarkan asas-asas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Upaya Pemberantasan tindak pidana Korupsi

Sebelum membahas bagaimana mengenai Pemberantasan Tindak pidana Korupsi alangkah baiknya apabila dilihat dulu penyebab timbulnya korupsi. sejaumlah ahli mengemukakn pendapatnya, antara lain pendapat dari Selo Sumarjan seperti dikutip Evi Hartanti, yang mengemukakan bahwa penyebab utama dari timbulnya korupsi, kolusi dan nepotisme adalah faktor sosial. Selengkapnya mengenai faktor-faktor sosial yang menyebabkan terjadinya korupsi, ia menjelaskan sebagai berikut:

  1. Desintegrasi (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat sejak revolusi nasional, dan melemahnya batas milik negara dan milik pribadi.
  2. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial bearlih menjadi orientasi harta. Kaya tanpa harta menjadi kaya dengan harta.
  3. Pembangunan ekonomi menjadi menjadi panglima pembangunan bukan pembangunan sosial budaya.
  4. Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan harta.
  5. Parenalisme, korupsi tingkat tinggi,menurun, menyebar, meresap dalam kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan menjadi kaya.
  6. Pranata-pranata sosial kontrol yang tidak efektif lagi.


 

Pendapat senada dikemukakan oleh Masyarakat Transparansi Internasional (MTI) yang dalam hasil penelitianya menemukan bahwa terdapat sepuluh pilar penyebab korupsi di Indonesia, yaitu:

  1. Absennya kemauan politik pemerintah;
  2. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah;
  3. Dominannya peranan militer dalam bidang politik;
  4. Politisasi birokrasi;
  5. Tidak independennya lembaga pengawas.
  6. Kurang berfungsinya parlemen;
  7. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil;
  8. Kurang bebasnya media massa;
  9. Oportunisnya sektor swasta


 

Mengacu pada pendapat tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa bila dicermati, berkembang biaknya korupsi secara massif dan fenomenal di Indonesia setidaknya disebabkan oleh empat penyebab utam. Penyebab pertama adalah budaya hidup hedonik yang mengenyampingkan pemuliaan terhadap nilai-nilai agama dan integritas moral. yang berkembang di kalangan pejabat publik dan penyelenggara negara.

Budaya hidup yang mengagungkan harta dan kemewahan dunia itu, menyebabkan korupsi seolah-olah diterima dan difahami sebagai suatu kewajaran sehingga ia bebas menjalar bahkan berurat berakar pada seluruh lapisan birokrasi kita. Ia menghinggapi pejabat tinggi di pusat kekuasaan sampai pamong rendahan di pelosok-pelosok desa, singgah di meja BUMN dan BUMD. Dan lebih tragis lagi, ia telah pula menggerogoti institusi penegakan hukum, yang justeru menjadi tumpuan harapan sebagai ujung tombak yang tajam dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.

Alasan kedua adalah budaya kolutif kalangan dunia usaha. Budaya hedonik para pejabat publik telah dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk berkolusi sehingga menyuburkan korupsi. Sejak lama diketahui bahwa sebagian dari pelaku usaha menjadi besar bukan karena kemampuan dan daya saing produk yang mereka miliki tetapi lebih pada faktor kedekatan mereka dengan jejaring birokrasi sehingga mereka mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan.

Alasan ketiga, karena rendahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk benar-benar memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya tanpa pilih bulu. Rendahnya political will tersebut menghasilkan kebijakan politik yang lemah, tumpang tindih dan tidak efektif.

Alasan terakhir namun amat penting bagi suburnya korupsi adalah lemahnya perangkat undang-undang dan rendahnya integritas penegak hukum. Kita memang tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa dari sejumlah kasus-kasus besar korupsi yang berhasil diungkap dan diajukan ke pengadilan, hanya segelintir saja untuk tidak menyebut tidak ada, yang berhasil dijerat dengan hukuman yang berat.

Di sisi lain, hampir setiap saat media menyuguhkan berbagai keganjilan dalam proses penyidikan, pendakwaan, pemeriksaan, penuntutan dan penetapan keputusan oleh Pengadilan serta berbagai cerita tentang perbedaan perlakuan, tebang pilih dan tarik ulur pada setiap tingkatan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Kenyataan ini membuat para pelaku korupsi tidak pernah takut dan jera menggerogoti uang rakyat dan atau mengambil serta menikmati sesuatu yang bukan haknya.

Penegakan hukum bukan semata-mata berati pelaksanaan Undang-undang, walaupun kenyataannya di Indonesia kencederungannya demikian. Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai putusan–putusan pengadilan. Pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksaanaan undang-undang atau putusan hakim tersebut, malahan dapat mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.

Dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa persoalan utama penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
Faktor-faktor tersebut menurut Soerjono adalah sebagai berikut:

  • Faktor Hukumnya sendiri, misalnya memenuhi syarat yuridis, sosiologis dan filosofis,
  • Faktor Penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum
  • Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
  • Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan
  • Faktor Kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia dalam pergaulan hidup.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum;

Sementara itu, menurut Howard dan Mummers sebagaimana dikutip oleh Sidik Sunaryo, efektivitas hukum mempunyai syarat sebagai berikut :

  1. Undang-undang harus dirancang dengan baik, kaidah-kaidah yang mematoki harus dirumuskan dengan jelas dan dapat dipahami dengan penuh kepastian. Tanpa patokan-patokan yang jelas seperti itu, orang sulit untuk mengetahui apa yang sesungguhnya diharuskan, sehingga undang-undang tidak akan efektif.
  2. Undang-undang itu dimana mungkin, seyogyanya bersifat melarang, dan bukannya bersifat mengharuskan. Dapat dikatakan bahwa hukum prohibitur itu pada umumnya lebih mudah dilaksanakan ketimbang hukum mandatur.
  3. Sanksi yang diancamkan dalam undang-undang itu haruslah berpadanan dengan sifat undang-undang yang yang dilanggar. Suatu sanksi yang mungkin tepat untuk suatu tujuan tertentu, mungkin saja dianggap tidak tepat untuk tujuan lain.
  4. Berat sanksi yang diancamkan kepada si pelanggar tidaklah boleh keterlaluan. Sanksi yang terlalu berat dan tidak sebanding dengan macam pelanggarannyaakan menimbulkan keengganan dalam hati para penegak hukum untuk menerapkan sanksi itu secara konsekuen terhadap orang-orang golongan tertentu.
  5. Kemungkinan untuk mengamati dan menyidik perbuatan-perbuatan yang dikaedahi dalam undang-undang harus ada. Hukum yang dibuat untuk melarang perbuatan-perbuatan yang sulit dideteksi, tentulah tidak mungkin efektif. Itulah sebabnya hukum berkehendak mengontrol kepercayaan atau keyakinan orang tidak mungkin akan efektif.
  6. Hukum yang mengandung larangan-larangan moral akan jauh lebih efektif ketimbang hukum yang tidak selaras dengan kaedah-kaedah moral, atau yang netral. Seringkali kita menjumpai hukum yang demikian efektifnya, sehingga kehadirannya seakan-akan tidak diperlukan lagi, karena perbuatan-perbuatan yang tidak dikehendaki itu juga sudah dicegah oleh daya kekuatan moral dan norma sosial. Akan tetapi, ada juga hukum yang mencoba melarang perbuatan-perbuatan tertentu sekalipun kaidah-kaidah moral tak berbicara apa-apa tentang perbuatan itu. Misalnya, larangan menunggak pajak. Hukum seperti itu jelas kalah efektif jika dibandingkan dengan hukum yang mengandung paham dan pandangan moral di dalamnya.
  7. Agar hukum itu bisa berlaku secara efektif, mereka yang bekerja sebagai pelaksana-pelaksana hukum harus menunaikan tugas dengan baik. Mereka harus mengumumkan undang-undang secara luas. Mereka harus menafsir-kannya secara seragam dan konsisten serta sedapat mungkin senafas atau senada dengan bunyi penafsiran yang mungkin coba dilakukan oleh warga masyarakat yang terkena. Aparat-aparat penegak hukum harus juga bekerja keras tanpa mengenal jemu untuk menyidik dan menuntut pelanggar-pelanggar.
  8. Akhirnya, agar suatu undang-undang dapat efektif, suatu standar hidup sosio ekonomi yang minimal harus ada di dalam masyarakat. Pula, di dalam masyarakat ini, ketertiban umum sedikit atau banyak harus mudah terjaga.


 

Menurut Amzulian Rifai ada lima Strategi untuk Pemberantasan tindak pidana Korupsi, yaitu diantaranya sebagai berikut :

  1. Perkuat Sektor Judisial

    Dimulai dari peningkatan Sumber Daya Manusia, administrasi peradilan, pengawasan teknis yudisial (Banding/Kasasi/PK) dan Tingkatkan pengawasan terhadap prilaku hakim

  2. Tingkatkan Kepercayaan Publik Terhadap (Aparat) Hukum
  3. Tindak Tegas para koruptor
  4. Upaya pencegahan pencucian uang
  5. Reformasi birokrasi


 

Masa Depan Pemeriksaan Perkara Tindak Pidana Korupsi

Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa penegakan hukum terhadap perkara tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan penangan secara khusus, oleh karena itulah makan di bentuklah Pengadilan Khusus yang ditujukan untuk memeriksa dan menangani perkara tindak pidana korupsi yang biasa disebut dengan Pengadilan Tipikor

Pengadilan tipikor dibentuk berdasarkan UU no 49 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tipikor yang Diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2009, Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 155. Pada awalnya pengadilan Tipikor di bentuk berdasarkan ketentuan Pasal 53 U.U No.30/2001 ttg KPK namun berdasarkan Putusan MK No.012-016-019/PUU-IV/2006 tgl.19 Desember 2006 pasal 53 UU 30 tahun 2001 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945. hal tersebut sejalan dg UU No.4/2004 ttg Kekuasaan Kehakiman yg menentukan bahwa pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dlm salah satu lingkungan peradilan umum yang dibentuk dg undang-undang tersendiri.

Pengadilan Tipikor merupakan pengadilan khusus berada di lingkungan peradilan umum yang berkedudukan di setiap ibukota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum PN yang bersangkutan. Khusus utk DKI Jakarta, Pengadilan Tipikor berkedudukan di setiap kotamadya yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum PN yang bersangkutan.

Dalam jangka pendek MA akan membentuk Pengadil-an Tipikor di 7 kota besar : Medan, Palembang, Bandung, Semarang, Surabaya, Samarinda dan Makassar. Kemudian akan menyusul di semua Ibukota Provinsi di seluruh Indonesia dengan tenggat waktu pembentukan : 2 (dua) tahun

Pengadilan Tipikor merupakan satu-satunya pengadilan yg berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tipikor. Perkara yang di adili di Pengadilan tipikor meliputi :

  • tindak pidana korupsi ;
  • tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tipikor ; dan/atau
  • tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tipikor.(Pasal 5 dan 6).

Penutup

Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa point penting yang perlu untuk ditindaklajuti untuk mempercepatan pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu sebagai berikut:

1. Pemberantasan korupsi merupakan kebutuhan Indonesia (aspek nasional dan internasional) karena korupsi tidak hanya terjadi di pemerintahan pusat, tetapi juga ada di daerah dan sudah meliputi banyak sector;

2. Praktek korupsi belum berkurang secara significant di era reformasi (karena pelakuknya rata-rata adalah orang yang berpendidkan maka korupsi dilakukan lebih hati-hati dan dengan cara serapi mungkin sehingga sulit untuk dilacak)

3. Harus ada strategi dan konsistensi dalam pemberantasan korupsi (mulai dari sektor judicial yaitu penguatan Pengadilan Tipikor, KPK, Kejaksaan dan Kepolisan dan reformasi birokrasi dalam pemerintahan)


 

Daftar Pustaka

Andi Hamzah, Perbandingan Pemberantasan Korupsi Di Berbagai Negara, Jakarta : sinar Grafika, 2005

Amzulian Rifai, Korupsi Di Era Reformasi, makalah yang disampaikan dalam perkuliahan Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sriwijaya

Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, LP3S, 1983,

Dariah. Eksekusi Hukuman Pembayaran Uang Pengganti, Jakarta : FH UI, 2004,,

Edi Yunara, Korupsi Dan Pertanggungjawaban Korporasi, Bandung : Citra Aditya, 2005

Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,

Harprileny Soebiantoro, Eksistensi dan Fungsi Jaksa Pengacara Negara Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta : Persaja,Media Hukum, 2004

Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Elemen Sistem Integrasi Nasional, Jakarta : Transparansy Internasional Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia, 2003

Majalan Varia Peradilan, tahun XXVI nomor 304 Maret 2011,

R.Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, cetakan pertama tahun 2005;

Romli Atmasasmita, Pengesahan Konvensi Internasional Tentang Pemberantasan Korupsi, Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006

Sejarah Pembentukan Undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana korupsi, Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-Undang, dept hukum dan Perundang-Undangan RI, Jakarta : 2000,

Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, Penerbit Universitas Muhammadyah Malang, Malang, 2004

Soerjono Soekanto, Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cetakan keenam Jakarta : Rajawali Pers, Jakarta, 2005

1 komentar:

  1. mohon bantuan, saya ingin bertanya seperti yang disebutkan dalam tulisan diatas. dimana dapat ditemukan dasar bahwa tujuan dari semua peraturan tindak pidana korupsi adalah efek jera dan pengembalian keuangan negara? atau dari pendapat pakar hukum siapa?terima kasih

    BalasHapus

CARA MEMBUAT SURAT KUASA

SURAT KUASA Oleh : Wasis Priyanto Ditulis saat tugas Di Pengadilan Negeri Ungaran KabSemarang Penggunaan surat kuasa saat in...